0
FF/ONESHOOT/WE JUST GOING CRAZY/PG13
Kwon Hyo Rim
No matter what I say now, you won’t listen, you don’t believe me SE7EN - I’M GOING CRAZY
Di siang yang terik ini, kami duduk berhadapan di sebuah café, menikmati makan siang bersama. Aku selalu menanti saat ini, tapi ternyata setelah bertemu dengannya kami hanya diam—tanpa ada yang memulai pembicaraan.
Kami adalah sepasang kekasih yang baru menjalani hubungan selama 2 bulan. Dan untuk pertama kalinya, hari ini kami sama-sama tidak tahu hendak bicara apa. Aneh sekali. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi. Melihat wajahnya sudah tertekuk sejak melihatnya masuk kelas pagi di kuliah tadi, entah kenapa aku jadi takut.
“Hyo Rim, makanlah.” Suara Gi Kwang yang duduk di hadapanku membuat pikiranku kembali. Aku tersenyum padanya, tapi dia langsung menunduk—kembali berkonsentrasi dengan makanannya. Mungkin dia tidak melihat.
Aku melahap makananku. “Hei,” kataku. Gi Kwang menatapku. “Kau tahu? Lagi-lagi hari ini Tae Min membuat ulah. Bukannya mendengarkan dosen bicara, dia malah—” Aku terhenti saat melihat Gi Kwang menatapku tajam. Ada apa dengannya?
“Kau bisa, setiap kali kita bersama, jangan menyebut namanya? Bisa?” Suaranya begitu dingin. Rupanya permulaan yang salah.
“Maafkan aku.” Aku menunduk. Kudengar ia menghela nafasnya keras-keras. Tiba-tiba kudengar kursi berderit, sontak aku mengangkat kepalaku. Kulihat Gi Kwang menenteng jaketnya dan beranjak dari kursinya.
“Kau kenapa sih? Begitu saja sudah marah! Aku sudah meminta maaf,” kataku tiba-tiba. Ia menatapku dalam diam, kemudian berjalan pergi dariku. “Katakan sesuatu! Kau tidak bisa begitu saja meninggalkanku!” tuntutku.
“Apalagi? Aku mau pergi pun bukan urusanmu, kan?!”
“Aku ini kekasihmu!” Tanpa sadar aku sudah berdiri di hadapannya.
“Lalu? Kau tidak berhak mengatur-aturku begitu saja! Kau tidak perlu khawatir, aku yang membayar makanan ini. Puas kau?” Gi Kwang tersenyum sinis. “Dasar perempuan pemeras.”
Tanganku melayangkan tamparan ke pipinya. Berani sekali dia berkata begitu. Hatiku terlalu sakit untuk melihat wajahnya. Aku meraih tas kecilku, lalu pergi meninggalkan café itu.
Kenapa Gi Kwang jadi seperti itu? Kenapa dia mengataiku begitu? Apa salahku? Aku tidak bermaksud memerasnya, tidak pernah! Aku berani bersumpah.
Dia sedang ada masalah, mungkin? Seharusnya dia membicarakannya denganku, jadi tidak menimbulkan hal seperti ini.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku berbalik dan kembali ke café itu. Saat sampai di sana, aku tidak menemukan Gi Kwang. Sudahlah, untuk apa aku mencarinya. Urusanku di café ini tidak hanya dengannya. Aku berjalan menuju meja kasir.
“Maaf. Tadi saya lupa membayar.” Pelayan di meja kasir itu menatapku penuh arti, kemudian berkata, “Tidak perlu, nona. Sudah dibayar oleh kekasih anda.”
Aku tercenung. Setelah berterima kasih kepada pelayan itu, aku pergi meninggalkan café.
Sepertinya Gi Kwang sedang tidak mood. Jadi ia bisa kelepasan berbicara begitu. Entah kenapa aku yakin besok akan kembali seperti biasanya. Semoga dia baik-baik saja.
Esok paginya, saat kuliah di mulai dan dosen sudah masuk ke kelas, aku belum melihat Gi Kwang muncul. Seingatku hari ini kami mendapat jam kuliah yang sama. Tapi mungkin juga aku salah. Untuk pertama kalinya dalam hubungan kami, ia tidak menghubungiku lagi melalui ponsel seperti yang biasa di lakukannya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Gi Kwang masuk dengan nafas terengah-engah. Setelah mendapat izin dari sang dosen, ia duduk jauh dariku. Padahal kursi di sebelahku kosong, tapi ia memilih duduk di depan. Dia menghindariku?
Saat jam kuliah usai, aku masih merapikan buku dengan santai saat Tae Min mengajakku makan siang.
“Tapi aku makan siang dengan Gi Kwang,” kataku. Seolah menjadi peraturan yang tak tertulis, makan siang bersama Gi Kwang merupakan kewajiban bagiku.
“Gi Kwang? Lelaki itu sudah pergi dari tadi.”
Aku mengerutkan kening. Baru kusadari di kelas itu tinggal aku berdua dengan Tae Min. Akhirnya aku mengiyakan ajakan makan siangnya.
Dan untuk pertama kalinya setelah dua bulan, aku di temani oleh Tae Min. Bukan Gi Kwang. Tae Min adalah teman terbaik yang pernah kupunya. Dia sangat baik, walau kata-katanya lebih sering menusuk hati. Mungkin baik karena dia selalu mendengarkan apa pun ceritaku.
“Makan!” Tae Min menunjuk sandwich yang sedang kupegang.
“Apa hakmu menyuruhku?” tanyaku garang. Hal yang kusuka darinya—aku selalu bisa bersifat terbuka kalau bersamanya. Bagaimana pun aku berekspresi—marah, sedih, senang—dia menganggap hal itu biasa saja.
“Bukan berarti kalau aku bukan kekasihmu, aku tidak berhak menyuruhmu makan,” kata Tae Min. Tepat menusuk. Mengingatkanku kembali dengan Gi Kwang yang selalu melarikan diri.
“Jangan mengingatnya. Aku masih menunggu Hyo Rim yang selalu bersemangat,” ujarnya seolah bisa membaca pikiranku. Tangannya memukul-mukul pundakku.
“Baiklah, baiklah. Aku makan!” kataku sambil menyuap sandwichku. Saat itulah, mataku tertuju pada sepasang kekasih. Hei, aku kenal lelaki itu. Lelaki itu begitu familiar. Dan tentunya kalian tahu siapa.
Seolah tidak terjadi apapun di antara kami, Gi Kwang yang melihatku menarik perempuan yang saat itu sedang di rangkulnya dengan begitu mesra. Apa lagi maunya sekarang? Memperlihatkan kekasih barunya?
“Hai.” Orang gila itu sudah berada di hadapanku. Aku bingung harus memasang ekspresi seperti apa. Tersenyum, tapi persis seperti orang gila karena tidak mampu menyembunyikan diriku yang ingin memukulnya saat itu juga. Atau menangis seperti orang kesetanan sambil menusuk-nusuknya. Aku benci padanya!
Tiba-Tiba seseorang menarikku, dan aku bisa merasakan bibirnya di bibirku. Aku terkejut bukan main karena mendapati wajah Tae Min yang begitu dekat denganku, dengan bibirnya yang menyentuh lembut bibirku. Aku berusaha melepasnya, tapi tangan Tae Min menahan kepalaku sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
“Eh, maaf. Kami sudah mengganggu kalian. Kami pergi dulu.” Kudengar suara Gi Kwang. Setelah langkah itu terdengar jauh, barulah Tae Min melepas ciuman kami. Aku menatapnya yang kembali melihat ke depan, seolah tidak terjadi apa pun.
“Kau gila?!”
“Jangan menangis untuk lelaki gila itu,” ucapnya. Mungkin karena melihat air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
“Kenapa kau menciumku seperti itu?” tanyaku garang. Aku tidak mengerti, apa yang ada di pikirannya? Dasar bocah gila.
“Untuk kebaikanmu. Seharusnya kau berterima kasih padaku,” ujarnya sambil cengengesan. Aku berdiri di hadapannya. Tanganku melayang dengan sendirinya dan akhirnya mendarat dengan suara menyakitkan di pipinya.
Aku menunggunya mengatakan sesuatu, tapi ia hanya diam sambil memegangi pipinya. Matanya menatap ke arah lain. Merasa tidak ada gunanya berlama-lama disini, akhirnya aku pergi meninggalkannya.
The love in our hearts when we first met, where has it gone to? Have we gotten rid of it? SE7EN - I’M GOING CRAZY
Esoknya—saat jam kuliah sudah usai. Kini, aku duduk di kursi taman bersama Gi Kwang. Ya, Gi Kwang. Saat dia sedang duduk sendiri, aku menghampirinya. Jadi sejak tadi kami duduk bersebelahan, tanpa ada yang bicara.
“Jadi, kau sudah jadian dengan Tae Min?” Suara itu terdengar lesu.
“Siapa gadis itu?” tanyaku. Dia menatapku. Matanya menyiratkan jawab-pertanyaan-dengan-jawaban-bukan-dengan-pertanyaan. Tapi aku tidak peduli. Aku akan menjawab pertanyaannya setelah ia menjawab pertanyaanku.
“Tidak berubah. Tetap keras kepala,” katanya saat melihatku diam. “Dia sepupuku. Kemarin aku mau mengenalkan padamu. Dia memang agak manja.” Aku tersentak. Malu sendiri.
Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya ke hadapanku. Dia sudah berdiri di hadapanku.
“Apa?”
“Selamat atas jadiannya kau dengan Tae Min.” Ia menjabat tanganku, lalu melepaskannya. “Aku harus pergi. Ada urusan.” Tanpa sempat kucegah, ia pergi. Saat aku mengejarnya dan berhasil mendapatkan tangannya, tanpa menoleh, ia melepaskan tanganku dengan kasar. Aku tertegun melihatnya pergi.
Aku kembali ke kursi dengan lesu. Dari jauh, aku melihat Tae Min duduk di kursi itu dan menatapku. Aku terhenti, lalu berbalik. Aku sedang tidak ingin bertemu dengannya. Kejadian kemarin adalah hal yang paling kubenci seumur hidupku. Kukira dia baik, tapi ternyata… dia tahu ada Gi Kwang, tapi dia malah menciumku. Dia benar-benar mendukung putusnya hubungan kami.
Hampir sebulan berlalu dengan Gi Kwang yang selalu lari dariku, dan Tae Min yang kini tidak pernah lagi muncul di hadapanku. Baguslah, berarti aku tidak perlu repot-repot menghindarinya.
Saat melihat Gi Kwang, aku mengejarnya, lalu menarik tangannya. Memaksanya berbalik.
“Dengarkan penjelasanku!”
“Apa yang perlu di jelaskan?!” Gi Kwang berteriak hingga membuatku tersentak. Tangannya yang kupegang bergetar. Matanya memerah. Ia cepat-cepat memejamkan matanya dan bersiap untuk berbalik.
“Aku dan Tae Min tidak pacaran!” teriakku. Dia berhenti. Aku berjalan menuju hadapannya. Matanya menerawang ke belakangku.
“Gi Kwang—”
“Kau tidak perlu berbohong untuk menenangkanku. Aku sudah tidak peduli lagi denganmu dan Tae Min. Lanjutkan saja hubungan kalian berdua. Anggap aku tidak pernah ada.” Ia tersenyum sinis. Tanganku melayang lagi, dan mendaratkan tamparan kedua di pipinya. Kesabaranku sudah habis.
“Kau tidak tahu apa-apa!” teriakku histeris. Air mataku keluar lagi. Tapi Gi Kwang tidak peduli. Ia berbalik dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku terduduk. Dan menangis. Tapi perlahan aku berdiri, lalu berlari mengejarnya.
Lee Gi Kwang
I dislike how our love has changed, I’m tired of repeating our arguments everyday SE7EN - I’M GOING CRAZY
Begini saja hubungan ini. Berakhir menyakitkan. Dengan teriakan penuh amarah yang keluar dari kedua manusia yang sama-sama keras kepala.
Hubunganku dan Hyo Rim. Semua sudah selesai. Saat melihatnya dengan Tae Min di taman itu, hatiku remuk. Ini memang salahku. Kalau saja sebelumnya aku tidak terbawa amarah, semua tidak akan terjadi. Aku tahu dia sangat dekat dengan Tae Min. Tapi aku kekasihnya.
Siapa yang tidak muak melihat kekasihnya terus membicarakan lelaki lain?
Aku muak. Sangat muak. Aku marah padanya. Dan sudah pasti dia bercerita pada teman terdekatnya—Tae Min. Aku tahu saat dia bilang dia dan Tae Min tidak pacaran, hubungan mereka sedang tidak baik. Aku, tentu saja tidak sudi di jadikan pelampiasan. Aku tidak bodoh.
Dan aku tahu Tae Min menyukainya. Sejak dulu, kami selalu bersaing. Saling membohongi, berpura-pura, hanya untuk mendapatkan yang kami inginkan. Entah kenapa, keingingan kami selalu sama. Bahkan sampai Hyo Rim juga. Kami berdua sama-sama menyukainya.
Tiba-tiba ponselku bergetar.
“Kenapa, umma?” tanyaku setelah menempelkan ponsel itu di telingaku.
“Adikmu kritis. Cepat ke rumah sakit!” Suara umma-nya terdengar panik. Aku yang mendengarnya juga ikut-ikutan panik. Untungnya rumah sakit itu tidak terlalu jauh dari universitasku. Aku memasukkan ponselku ke dalam kantong dan berlari sekencang mungkin.
Aku memang membenci adikku ini, sangat membencinya. Tapi aku juga menyayanginya. Sudah sebulan ini dia di rumah sakit. Ia menderita kanker otak. Dokter berkata penyakit itu sulit terdeteksi karena tempat pertumbuhan kanker itu baru di ketahui sebulan yang lalu. Dan itu artinya sudah menderita penyakit itu sejak lama.
Aku terkejut saat sebuah mobil sedang melaju ke arahku. Aku terhenti begitu saja, bingung kenapa mobil itu sudah berada sedekat ini denganku. Selanjutnya aku merasakan sakit yang amat sangat hingga tubuhku melayang, kemudian kepalaku membentur sesuatu dengan sangat kuat. Pandanganku gelap seketika.
Aku terbangun di sebuah tempat asing. Aku tidak tahu ini di mana. Aku hanya di baringkan di lantai beralaskan karpet.
Tiba-tiba sekelilingku yang tadinya terang berubah menjadi gelap. Dalam kegelapan itu, aku mendengar suara. Aku duduk dan menegakkan tubuhku.
“Hyung, kau baik-baik saja?” Aku mengenali suara itu. Adikku.
“Tae Min, jangan bermain-main. Nyalakan lampunya,” perintahku. Ia hanya diam. Aku menghela nafas.
“Hyung, maafkan aku.” Suara itu terdengar lagi. “Aku memanfaatkanmu untuk mendapatkan Hyo Rim. Sekarang semua itu sudah tidak ada gunanya lagi. Hyo Rim membenciku, dan hidupku sudah tidak lama lagi.” Nada putus asa terdengar kental di suara itu.
“Tae Min, jangan berkata begitu. Kau bisa sembuh.”
“Tidak. Aku harus pergi, hyung. Aku titip Hyo Rim padamu. Ingat pesan ini: jaga dia baik-baik. Dia sangat mencintaimu, hyung. Bukan mencintaiku, dan dia sangat membutuhkanmu.”
Perasaan takut semakin mencekamku. Aku membencinya karena sudah mengambil Hyo Rim dariku. Tapi aku juga menyayanginya. Bagaimana pun juga, kami lahir dari rahim wanita yang yang sama.
“Tolong, hyung. Maafkan aku. Dan jaga Hyo Rim.”
Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan perempuan. Aku memanggil Tae Min, tapi dia sudah tidak bersuara lagi. Dan aku mengenali suara tangisan ini. Ini suara Hyo Rim.
Tanganku di genggam. Perlahan cahaya memasuki mataku. Kini aku melihat seorang perempuan duduk menangis tersedu-sedu. Saat mataku membuka dengan sempurna, aku bisa merasakan tempat empuk yang sedang aku tiduri. Aku berada di atas tempat tidur, bukan karpet.
Rupanya aku bermimpi. Aku bernafas lega. Dan ingatanku kembali pada Tae Min. Tujuanku untuk menjenguknya di rumah sakit. Aku segera terduduk.
“Tae Min…” Aku mencarinya. Perempuan tadi tiba-tiba memelukku. Hyo Rim.
“Gi Kwang, dia…” Aku tertegun mendengar kata-kata yang selanjutnya keluar dari mulutnya. Tae Min. Dia sudah tiada. Aku membiarkan Hyo Rim menangis di pundakku. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tiba-tiba kulihat pintu kamar terbuka, dan umma masuk. Ia menghampiriku dan Hyo Rim, kemudian memeluk kami. Perlahan tanganku juga memeluk mereka berdua. Kami bertiga berpelukan, saling mengisi rasa kehilangan yang sedang kami rasakan.
Orang-orang sudah pergi meninggalkan pemakaman. Hanya aku dan Hyo Rim yang masih duduk di sini, menatap makam itu dalam diam.
“Kenapa kalian menyembunyikan hal ini…?” Aku mendengar gumaman Hyo Rim. Ia seolah tidak bertanya pada siapapun. Mungkin padaku, tapi aku tidak ingin menjawabnya.
“Gi Kwang, katakan padaku…” Aku menghela nafas. Tanganku menarik kepalanya untuk menyandar di pundakku, lalu mengelusnya perlahan.
“Karena kami sama-sama mencintaimu, Hyo Rim,” kataku setelah beberapa saat. Ia menggenggam erat sebelah tanganku. Akhirnya aku mengatakannya juga.
“Jangan pernah menyembunyikan hal apa pun lagi dariku, Gi Kwang.”
Aku mengangguk.
“Pasti.”
There’s nothing that can drive me insane
I’m still loving you, my tears are still no enough Even when it’s hurting a lot, I’ll try finding my way back
Goodbye…
Posting Komentar