0

2PM - 니가 나를 떠나도

Posted by Dindin on 07.24 in ,



Even if you leave me, I’ll be happy if I’m able to just watch you, that’s all I need
Even if you’re in the arms of another, I’ll be happy, I’ll be happy if you just remember, that’s all I need
No mater where you are, don’t get hurt. Don’t skip meals because you want to diet. You have to smile more in front of that person, prettily.

If, by chance, you miss me, listen to this song. If that person hurts you, listen to this song (no no)
If you keep missing me, sing this song. It’s my last gift prepared for you. (bye bye)

If that person asks about me, just say you don’t know anything. It’s okay for you to.
If I can’t hold back and end up calling you at night, making you cry, ask that person to stay by your side.

Don’t look back at such a unfortunate person like me. You don’t even have to remember me, it’s not like I left any traces.
I never even did anything for you anyway so just turn back.
Even this feeling of longing has become a luxury so just erase me.
Live happily, please. Just live happily for yourself.
Forget something like me and live happily, live happily

I’m sorry that I can’t be by your side

0

BEAST (DONGWOON-DOOJOON) - WHEN THE DOOR CLOSE

Posted by Dindin on 07.09 in


Indo Translate by Dintaeyang

Sebelum mengatakan perpisahan terakhirmu padaku.
Kumohon berhentilah sesaat, dan lihatlah padaku sambil tersenyum, bertahan untuk beberapa saat.
Kau yang telah memberi cahaya padaku.
Bahkan jika ini yang terakhir, aku tidak ingin memperlihatkan padamu air mataku.
Kau...
Sambil berpura-pura tersenyum padamu.
Terima kasih, karena telah membuat kenangan indah ini.
Bersinar dengan senyum yang canggung.
Aku mengusirmu seperti ini, tapi...
Saat pintu tertutup, saat bayangan dirimu lenyap.
Kemungkinan besar aku akan menghabiskan hari dengan air mata.
Karena kenangan denganmu kubiarkan tertinggal.
Kuharap kau akan bahagia.
Saat aku membiarkan tanganmu pergi.
Tidak selamanya aku akan punya alasan untuk tersenyum, tetapi saat kau tersenyum, aku akan mencoba untuk tersenyum.
Pada akhir hubungan panjangmu dengan lelaki itu, ketahuilah, bahwa akulah yang berdiri disana, menunggu.
Bahkan jika kau pernah mendapat kenangan dengan lelaki itu, aku akan mencoba untuk berjanji bahwa aku akan membuatmu tersenyum lebih dari waktu itu. Tetapi...
Kau...
Jika kau menunjukkan air matamu padaku, dan berkata bahwa ini sulit karena hanya ada perpisahan di sebelah orang itu.
Saat aku menggenggam tanganmu, dengan ekspresi kosong.
Aku memelukmu seperti ini.
Hatiku menjadi lemah sebelum aku bisa bersamamu lagi.
Agar kau tidak melihatku saat air mataku keluar.
Kumohon jangan melihat ke belakang.
Pergilah.

0

FF/ONESHOOT/LOVE SHOULD GO ON/PG13

Posted by Dindin on 06.11 in ,

 “Hae Rin-ah, bukalah pintu. Dong Hae sudah datang.” Teriakan Onni membuatku geram sendiri. Aku sedang sibuk membaca novelku dan ia mulai berlagak menyuruh-nyuruh. Kenapa orang itu datang lagi ke sini setelah 2 bulan lamanya?
“Kau yang punya urusan, jadi bukalah pintu sendiri,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari novelku.
“Kau tidak lihat aku sedang merias wajahku? Cepatlah! Buka pintu!” Suaranya meninggi.
“Malas!”
“Ya! Hae Rin-ah! Cepat!” Tepat saat aku menutup novelku, sebuah gantungan baju melayang padaku. Untungnya aku sempat menghindarinya. Segera aku berlari keluar kamar dan menuju pintu depan untuk membuka pintu.
Wajah Dong Hae muncul di hadapanku saat aku membuka pintu. Kurasa aku mulai bisa melupakannya sejak ia memutuskanku saat itu karena aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Tapi rasanya ada yang sakit. Ingin sekali aku memukul wajahnya. Sayang, aku tidak tega merusak wajahnya yang tampan itu.
“Kakakmu…”
“Masuk saja, tunggu di dalam. Sebentar lagi dia akan keluar,” kataku. Lalu aku meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Aku kembali ke kamar dan melihat kakakku sibuk mematut dirinya di cermin. Sampai sekarang pun aku tidak mengerti kenapa dia hobi melakukan itu semua hanya untuk jalan bersama Dong Hae. Tidak perlu di rias pun, menurutku dia sudah cantik.
“Onni, dia sudah di luar,” kataku memperingatkan. Ia berbalik dan menatapku dengan mata berbinar.
“Bagaimana penampilanku? Apa ada yang kurang?” tanyanya. Aku melihatnya sekali lagi. Apakah melihat di cermin juga belum cukup baginya?
“Tidak ada, onni. Malam ini kau sangat, sangat, sangat cantik,” pujiku tulus. Ia mengangguk puas lalu berterima kasih. Ia mengambil tas kecilnya lalu berjalan keluar kamar.
“Baiklah, aku pergi dulu,” katanya sebelum keluar kamar. “Jangan lupa kunci pintu. Handphone-mu taruh di dekat bantal, jadi saat kau sudah tidur aku bisa—”
“Ya, ya. Aku mengerti,” potongku cepat. Aku sudah bosan mendengar segala macam perintahnya jika ingin pergi bersama Dong Hae.
Setelah mereka pergi, aku langsung mengunci pintu. Aku mengambil ponselku lalu mengetik sebuah pesan singkat.
---
Aku masih fokus mengerjakan tugas saat tiba-tiba ponselku bergetar dengan ributnya. Sambil mendesah, aku mengambil ponsel itu dan membuka sebuah pesan yang masuk.
Min Ho-ah, ke rumahku sekarang! Kakakku baru saja pergi!
Nama Hae Rin tertera sebagai pengirim pesan itu. Arrggh, anak ini! Dia tidak tahu aku sedang banyak tugas! Dan dia tidak pernah peduli!
Aku memutuskan untuk membalasnya.
Malas. Sedang banyak tugas.
Send.
Baru beberapa saat aku meletakkan ponselku dan mengerjakan soal kembali, ponsel sialan itu kembali bergetar. Ya ampun! Hae Rin itu keterlaluan. Dasar keras kepala.
Kumohon, Min Ho. Aku tidak tahu harus cerita dengan siapa lagi selain denganmu.
Aku terdiam sejenak setelah membaca pesan itu. Hal apa lagi yang dialaminya?
Apa yang terjadi?
Agak lama—sekitar 10 menitan—baru ia membalas pesanku. Tumben ia lambat membalasnya. Jangan-jangan ia menangis dulu? Ah, Hae Rin yang kukenal tidak pernah menangis, sebesar apapun masalahnya. Bahkan saat kekasihnya memutuskan hubungan mereka dan lebih memilik kakaknya, ia sama sekali tidak menangis. Dia sangat kuat.
Kuakui, aku kagum padanya. Dia bahkan tidak ingin memberitahu kakaknya karena ia tidak mau merusak kebahagiaan kakaknya. Yah, padahal itu mungkin saja berdampak buruk bagi kebahagiaannya. Tapi sekalipun ia tidak pernah menampakkan kesedihannya di hadapanku.
Makanya, kerumahku sekarang. Kutunggu.
Aku merapikan tugas-tugasku, kemudian mengenakan jaket dan memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Aku segera pergi meninggalkan rumah.
---
Aku masih sibuk mengganti-ganti channel di televisi saat tiba-tiba mendengar suara bel rumah. Akhirnya dia datang juga!
“Ada apa?” tanya Min Ho begitu aku membukakan pintu untuknya.
“Temani aku. Aku sendirian,” kataku. Ia terdiam menatapku. Tiba-tiba ia memegang puncak kepalaku perlahan. Makin lama makin keras dan ia menjitakku. “Ya! Sakit, bodoh.”
“Aku sedang banyak tugas, anak pintar,” katanya. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang amat sangat padaku. Aku meringis.
“Maafkan aku. Lebih baik kita masuk saja. Dingin sekali.” Aku memeluk diriku sendiri. Ia menerobos masuk ke dalam dan langsung duduk di sofa yang ada di depan televisi. Aku menyusulnya dan duduk di sebelahnya.
“Ya! Berikan padaku. Aku mau nonton,” teriakku saat ia mengambil remote. Cepat-cepat kutarik remote itu darinya. Min Ho dengan mudah langsung menariknya. Melihatnya menyembunyikan remote itu jauh dariku, aku hanya duduk pasrah. Aku jadi malas sekali mengambilnya. Kubiarkan ia mengganti-ganti channel televisi.
“Ngomong-ngomong, tadi dia datang menjemput kakakku,” kataku.
“Lalu?” Ia tidak mengalihkan pandangannya dari televisi.
“Aku merasa… aku masih… em… mungkin…”
“Apa yang kauinginkan lagi darinya?”
“Entahlah, Min Ho. Tapi rasanya… kenapa disini… sakit?” Aku meletakkan telapak tanganku di dada. Berhentilah. Sejak kapan aku jadi secengeng ini? Seperti bukan diriku saja!
“Hae Rin, kau menangis?” Dia menoleh padaku. Pandangan mataku mengabur. Cepat-cepat kutundukkan kepalaku—tidak ingin Min Ho melihatku menangis. Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri yang menangis tiba-tiba. Tapi di sisi lain aku tidak mampu menahannya lagi.
“Tidak apa-apa, Hae Rin. Tenanglah.” Ia mendekatiku. Aku tidak mengelak saat ia memelukku. Aku merasa membutuhkannya. Kalau dia tidak ada, siapa yang bisa mengerti tentang perasaanku?
---
Aku tertegun saat merasakannya terisak di dadaku. Aku mengeratkan pelukanku padanya. Aku ingin dia merasa tenang.
Memang benar, saat dia senang, aku tidak bisa ikut merasakan senangnya. Begitu pula saat dia sedih. Aku tidak bisa merasakan kesedihannya, tapi aku ingin di saat-saat seperti itu aku bisa ada untuknya. Aku ingin jadi yang pertama berada di sampingnya. Aku ingin jadi orang pertama yang menenangkannya.
Tapi—satu hal yang tidak bisa kumengerti darinya—kenapa dia tidak pernah melihatku? Kenapa dia hanya melihat orang yang tidak akan pernah lagi melihatnya?
---
Jam Sembilan malam, Min Ho baru pulang. Setengah jam setelah itu, aku sudah tertidur kalau saja ponselku tidak berada di sampingku dan berdering dengan ributnya. Sudah pasti kakakku. Dengan malas-malasan aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke depan pintu untuk membukakannya.
Tepat saat pintu terbuka lebar, kulihat—di depan pagar—Dong Hae dan kakakku sedang berciuman dengan mesranya. Aku segera berbalik. Nafasku jadi tidak beraturan.
Ya, Tuhan. Aku harus ingat pesan Min Ho. “Dia sudah jadi milik kakakmu. Lagipula kau lebih memilih kakakmu bahagia, kan?”
Tapi kenapa rasanya… menyakitkan sekali?
---
Esok harinya, sepulang sekolah, seperti biasanya aku dan Hae Rin menghabiskan waktu hingga sore di sekolah untuk main basket. Yah, kurasa hanya dengan ini ia bisa melupakan kesedihannya semalam. Dia bercerita padaku tadi pagi, bahwa semalam ia melihat kakaknya dan Dong Hae berciuman di hadapannya.
Aku tidak mengerti. Kenapa dia berubah secepat itu? Kupikir dia kuat untuk menahan semuanya. Setelah sekian lama tidak bertemu Dong Hae, mungkin dia kuat menahannya. Tapi segala pertahanannya tiba-tiba runtuh hanya karena bertemu Dong Hae yang tidak mencapai 5 menit. Mungkin karena itu.
“Ah, capek! Kau main sendiri saja!” Ia terduduk di tengah lapangan. Keringat membanjiri wajahnya. Ia melempar bola ke arahku dan segera kutangkap. Aku berjalan ke arahnya, lalu duduk di sampingnya.
“Jam berapa ini?” tanyanya. Aku melihat jam lalu menoleh padanya. “Jam setengah 4. Mau pulang?”
“Nanti. Aku masih capek. Lagipula aku belum menang darimu!” ucapnya kesal setengah mati. Aku tergelak.
“Mana mungkin pemula sepertimu mengalahkanku!” kataku bangga. Ia mendengus kesal. Kami terdiam beberapa lama. Hanya nafas kami yang terdengar mengisi keheningan sore itu.
“Sebenarnya, apa aku salah mencintai orang yang juga dicintai kakakku sendiri?” gumamnya. Aku tertegun dan langsung menoleh padanya yang sedang mendongak menatap awan.
---
Saat keheningan menyelimuti kami, pikiranku melayang lagi. Tentang kakakku. Dan Dong Hae. Aku masih mencintai Dong Hae. Kalau aku bersikeras menjadikan Dong Hae sebagai kekasihku kembali, aku hanya akan menyakiti kakakku. Aku tidak mau itu terjadi, karena aku sangat menyayangi kakakku.
Mataku menatap awan berarak yang terus bergeser. Seandainya aku bisa jadi awan itu. Hanya melayang-layang di atas sana. Tidak perlu memikirkan hal seperti ini. Cinta yang bodoh.
Ya, Tuhan. Sebenarnya, apa aku salah mencintai orang yang juga dicintai kakakku sendiri?
 “Tidak. Tidak salah. Tidak ada yang berhak melarang cintamu terhadap dia.” Suara Min Ho membuyarkan lamunanku. Aku terkejut dan menoleh. Ia sedang menatapku serius.
“Min Ho, kau bisa…”
“Hae Rin, tatap mataku. Lihat aku. Lihat hanya padaku, Hae Rin,” ucapnya. Aku tidak mengerti. Apa yang dibicarakannya?
“Tidak bisakah kau berhenti melihat orang yang tidak mungkin mencintaimu lagi?” tanyanya. Aku tertegun. Aku tidak menyangka dia akan bertanya seperti itu.
“Min Ho…” Kata-kataku terputus saat ia berdiri. Ia menatap tajam padaku.
“Kau tidak seperti Hae Rin yang kukenal. Hae Rin yang kukenal tidak secengeng ini. Hanya karena seorang lelaki seperti dia, kau jadi begitu menyedihkan!” Aku terkejut mendengar suaranya meninggi.
“Kau tidak berhak bicara seperti itu! Kau tidak mengerti perasaanku!” Aku berdiri dan berteriak di hadapannya. Tiba-tiba saja kemarahanku memuncak.
“Berhentilah memikirkannya, Hae Rin. Dia tidak akan pernah melihatmu lagi!” kata Min Ho. Aku terdiam. Min Ho benar. Tapi aku tidak ingin memercayainya. Dong Hae pasti akan melihat kepadaku lagi suatu saat.
“Lihatlah kenyataan, Hae Rin!”
Min Ho berbalik. Aku terdiam. Aku berusaha menyerap kata-katanya sambil menatap punggungnya yang tertutup tas ransel yang semakin menjauh.
---
Sampai dirumah, aku duduk di sofa. Pikiranku kembali ke kejadian di lapangan basket tadi. Astaga, apa yang sudah kukatakan padanya?!
Bodoh! Bukankah aku sudah bertekad akan berada di sampingnya dalam keadaan apapun. Saat dia senang, maupun sebaliknya. Tapi apa yang kulakukan?! Aku malah membentaknya dengan kata-kata kasar. Min Ho, apa yang terjadi pada dirimu?

Esok harinya, saat berangkat sekolah, seperti biasanya aku menjemput Hae Rin karena rumah kami dekat dan biasanya kami berangkat sekolah bersama. Tapi kata kakaknya, ia sudah berangkat sekolah. Dengan sedikit kesal, aku berangkat ke sekolah sendirian.
Begitu sampai di sekolah, aku langsung ke kelas Hae Rin—kelas kami memang berbeda. Aku melihatnya duduk menunduk di mejanya. Segera kuhampiri dia.
“Hae Rin...,” panggilku. Ia mengangkat kepalanya dan tiba-tiba menatap tajam ke arahku.
“Pergi! Kalau kau memang sebegitu bencinya melihatku menyukainya, lebih baik kita tidak usah berteman! Kukira kau teman baikku!”
Aku tertegun. Kejadian kemarin kembali terulang di pikiranku. Bodoh! Seandainya saja aku tidak berkata seperti itu, semua akan baik-baik saja. Kenapa aku tiba-tiba terbawa emosi saat itu?
“Pergi!” teriaknya sambil mendorongku. Aku menatapnya tidak percaya sambil berjalan mundur. Seburuk inikah dampaknya?
---
Pulang sekolah, aku termenung di meja belajar di kamarku. Aku menyapu pandangan ke semua benda yang ada di atas meja. Tatapanku berhenti di kalender, dengan satu tanggal di bulan itu yang kulingkari dengan spidol merah.
Aku mengambilnya dan mendekatkannya agar bisa melihatnya dengan jelas. Di sana jelas-jelas tertulis nama Min Ho. Tanggal 9 Desember. Aku tertegun. Ini hari Kamis. Di kalender itu, tanggal 9 Desember hari apa?
Hari Kamis! Astaga. Hari ini!
Aku teringat kembali kejadian tadi pagi saat aku membentaknya di hadapan seisi kelas. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya begitu. Tapi tadi pagi itu, entah kenapa aku kesal sekali padanya. Mungkin karena kejadian kemarin.
Dan kalau kupikir sekali lagi, apa yang dia bilang kemarin juga tidak ada yang salah. Aku juga mulai menyadari diriku terlalu berlebihan untuk hal ini. Dia benar. Untuk apa aku terus berharap pada orang yang tidak mungkin lagi melihatku?
Aku segera mengambil jaket dan memasukkan ponsel serta dompet di saku jaketku. Aku langsung keluar rumah setelah mengunci pintu.
---
Tidak bisa. Aku tidak bisa diam terus. Aku harus bicara padanya. Aku harus minta maaf atas kata-kataku yang kurang ajar kemarin.
Tepat saat aku menutup pintu rumah, hujan turun dengan lebatnya. Sial! Akhirnya aku menerobosnya sambil menutupi kepalaku dengan jaketku.
Baru aku menutup pagar dan berbalik, dari kejauhan aku melihat seorang perempuan berlari-lari mendekat. Ke arahku? Benar, dia ke sini. Ia memegang sebuah kotak berukuran sedang yang di tutupi oleh—sepertinya—jaket. Ia hanya mengenakan kaos.
Aku berlari menghampirinya karena tidak tega melihatnya hujan-hujanan begitu. Saat jarak kami sudah dekat, barulah aku mengenali siapa dia.
Hae Rin.
Dia juga sedang menatapku dalam diam. Saat ia bersiap untuk melangkah, aku segera maju dan menghentikannya. Aku melepaskan jaketku dan meletakkan jaket itu di atas kepalanya.
“Kau mau kemana?” tanyaku.
“Min Ho, maafkan aku. Maaf,” ucapnya sambil menunduk. Kenapa dia yang minta maaf?
“Hae Rin, ada apa?” tanyaku khawatir.
“Aku tahu, aku memang salah. Kau benar. Aku terlalu berlebihan memikirkan Dong Hae yang tidak akan pernah memikirkanku. Maaf, tadi pagi aku membentakmu. Seharusnya aku berterima kasih padamu.”
Aku tersenyum. Perlahan aku mengangkat wajahnya. Entah atas dorongan apa, aku mendekatkan wajahku padanya. Ia tidak menolak hingga akhirnya bibir kami bertemu.
Aku lalu melepasnya. Ia hanya menunduk.
“Hae Rin, lihat aku,” kataku. Perlahan, ia mengangkat wajahnya. “Aku mencintaimu.”
Wajahnya terlihat terkejut, tapi seperti biasanya, ia berhasil merubah raut wajahnya menjadi biasa saja. Kurasa dia sudah kembali secuek dulu. Dan aku lebih menyukainya yang seperti itu.
“Lalu?” tanyanya. Aku memutar bola mataku karena kesal. Aku segera mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, kau bawa apa?” tanyaku sambil menunjuk kotak yang di bawanya. Kelihatannya… kotak itu hancur beserta isinya.
“Eh, ini… tadinya ingin kuberikan padamu sebagai ucapan selamat ulang tahun, tapi… kelihatannya sudah hancur,” jawabnya ragu. Kenapa dia jadi tidak nyambung? Aku tanya dia bawa apa, kenapa dia jawab begitu?
Dan aku cukup terkejut karena ternyata ia masih mengingat ulang tahunku.
“Kau ingat hari ini ulang tahunku?” tanyaku.
“Ya, sejam yang lalu.” Ia menjawab sambil meringis. Aku memutar bola mataku.
Sial. Tapi ulang tahun kali ini tidak akan pernah kulupakan. Karena dia.

FIN

0

FF/ONESHOOT/WE JUST GOING CRAZY/PG13

Posted by Dindin on 06.10 in , ,

Kwon Hyo Rim
No matter what I say now, you won’t listen, you don’t believe me                                                        SE7EN - I’M GOING CRAZY
Di siang yang terik ini, kami duduk berhadapan di sebuah café, menikmati makan siang bersama. Aku selalu menanti saat ini, tapi ternyata setelah bertemu dengannya kami hanya diam—tanpa ada yang memulai pembicaraan.
Kami adalah sepasang kekasih yang baru menjalani hubungan selama 2 bulan. Dan untuk pertama kalinya, hari ini kami sama-sama tidak tahu hendak bicara apa. Aneh sekali. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi. Melihat wajahnya sudah tertekuk sejak melihatnya masuk kelas pagi di kuliah tadi, entah kenapa aku jadi takut.
“Hyo Rim, makanlah.” Suara Gi Kwang yang duduk di hadapanku membuat pikiranku kembali. Aku tersenyum padanya, tapi dia langsung menunduk—kembali berkonsentrasi dengan makanannya. Mungkin dia tidak melihat.
Aku melahap makananku. “Hei,” kataku. Gi Kwang menatapku. “Kau tahu? Lagi-lagi hari ini Tae Min membuat ulah. Bukannya mendengarkan dosen bicara, dia malah—” Aku terhenti saat melihat Gi Kwang menatapku tajam. Ada apa dengannya?
“Kau bisa, setiap kali kita bersama, jangan menyebut namanya? Bisa?” Suaranya begitu dingin. Rupanya permulaan yang salah.
“Maafkan aku.” Aku menunduk. Kudengar ia menghela nafasnya keras-keras. Tiba-tiba kudengar kursi berderit, sontak aku mengangkat kepalaku. Kulihat Gi Kwang menenteng jaketnya dan beranjak dari kursinya.
“Kau kenapa sih? Begitu saja sudah marah! Aku sudah meminta maaf,” kataku tiba-tiba. Ia menatapku dalam diam, kemudian berjalan pergi dariku. “Katakan sesuatu! Kau tidak bisa begitu saja meninggalkanku!” tuntutku.
“Apalagi? Aku mau pergi pun bukan urusanmu, kan?!”
“Aku ini kekasihmu!” Tanpa sadar aku sudah berdiri di hadapannya.
“Lalu? Kau tidak berhak mengatur-aturku begitu saja! Kau tidak perlu khawatir, aku yang membayar makanan ini. Puas kau?” Gi Kwang tersenyum sinis. “Dasar perempuan pemeras.”
Tanganku melayangkan tamparan ke pipinya. Berani sekali dia berkata begitu. Hatiku terlalu sakit untuk melihat wajahnya. Aku meraih tas kecilku, lalu pergi meninggalkan café itu.
Kenapa Gi Kwang jadi seperti itu? Kenapa dia mengataiku begitu? Apa salahku? Aku tidak bermaksud memerasnya, tidak pernah! Aku berani bersumpah.
Dia sedang ada masalah, mungkin? Seharusnya dia membicarakannya denganku, jadi tidak menimbulkan hal seperti ini.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku berbalik dan kembali ke café itu. Saat sampai di sana, aku tidak menemukan Gi Kwang. Sudahlah, untuk apa aku mencarinya. Urusanku di café ini tidak hanya dengannya. Aku berjalan menuju meja kasir.
“Maaf. Tadi saya lupa membayar.” Pelayan di meja kasir itu menatapku penuh arti, kemudian berkata, “Tidak perlu, nona. Sudah dibayar oleh kekasih anda.”
Aku tercenung. Setelah berterima kasih kepada pelayan itu, aku pergi meninggalkan café.
Sepertinya Gi Kwang sedang tidak mood. Jadi ia bisa kelepasan berbicara begitu. Entah kenapa aku yakin besok akan kembali seperti biasanya. Semoga dia baik-baik saja.

Esok paginya, saat kuliah di mulai dan dosen sudah masuk ke kelas, aku belum melihat Gi Kwang muncul. Seingatku hari ini kami mendapat jam kuliah yang sama. Tapi mungkin juga aku salah. Untuk pertama kalinya dalam hubungan kami, ia tidak menghubungiku lagi melalui ponsel seperti yang biasa di lakukannya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Gi Kwang masuk dengan nafas terengah-engah. Setelah mendapat izin dari sang dosen, ia duduk jauh dariku. Padahal kursi di sebelahku kosong, tapi ia memilih duduk di depan. Dia menghindariku?
Saat jam kuliah usai, aku masih merapikan buku dengan santai saat Tae Min mengajakku makan siang.
“Tapi aku makan siang dengan Gi Kwang,” kataku. Seolah menjadi peraturan yang tak tertulis, makan siang bersama Gi Kwang merupakan kewajiban bagiku.
“Gi Kwang? Lelaki itu sudah pergi dari tadi.”
Aku mengerutkan kening. Baru kusadari di kelas itu tinggal aku berdua dengan Tae Min. Akhirnya aku mengiyakan ajakan makan siangnya.
Dan untuk pertama kalinya setelah dua bulan, aku di temani oleh Tae Min. Bukan Gi Kwang. Tae Min adalah teman terbaik yang pernah kupunya. Dia sangat baik, walau kata-katanya lebih sering menusuk hati. Mungkin baik karena dia selalu mendengarkan apa pun ceritaku.
“Makan!” Tae Min menunjuk sandwich yang sedang kupegang.
“Apa hakmu menyuruhku?” tanyaku garang. Hal yang kusuka darinya—aku selalu bisa bersifat terbuka kalau bersamanya. Bagaimana pun aku berekspresi—marah, sedih, senang—dia menganggap hal itu biasa saja.
“Bukan berarti kalau aku bukan kekasihmu, aku tidak berhak menyuruhmu makan,” kata Tae Min. Tepat menusuk. Mengingatkanku kembali dengan Gi Kwang yang selalu melarikan diri.
“Jangan mengingatnya. Aku masih menunggu Hyo Rim yang selalu bersemangat,” ujarnya seolah bisa membaca pikiranku. Tangannya memukul-mukul pundakku.
“Baiklah, baiklah. Aku makan!” kataku sambil menyuap sandwichku. Saat itulah, mataku tertuju pada sepasang kekasih. Hei, aku kenal lelaki itu. Lelaki itu begitu familiar. Dan tentunya kalian tahu siapa.
Seolah tidak terjadi apapun di antara kami, Gi Kwang yang melihatku menarik perempuan yang saat itu sedang di rangkulnya dengan begitu mesra. Apa lagi maunya sekarang? Memperlihatkan kekasih barunya?
“Hai.” Orang gila itu sudah berada di hadapanku. Aku bingung harus memasang ekspresi seperti apa. Tersenyum, tapi persis seperti orang gila karena tidak mampu menyembunyikan diriku yang ingin memukulnya saat itu juga. Atau menangis seperti orang kesetanan sambil menusuk-nusuknya. Aku benci padanya!
Tiba-Tiba seseorang menarikku, dan aku bisa merasakan bibirnya di bibirku. Aku terkejut bukan main karena mendapati wajah Tae Min yang begitu dekat denganku, dengan bibirnya yang menyentuh lembut bibirku. Aku berusaha melepasnya, tapi tangan Tae Min menahan kepalaku sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
“Eh, maaf. Kami sudah mengganggu kalian. Kami pergi dulu.” Kudengar suara Gi Kwang. Setelah langkah itu terdengar jauh, barulah Tae Min melepas ciuman kami. Aku menatapnya yang kembali melihat ke depan, seolah tidak terjadi apa pun.
“Kau gila?!”
“Jangan menangis untuk lelaki gila itu,” ucapnya. Mungkin karena melihat air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
“Kenapa kau menciumku seperti itu?” tanyaku garang. Aku tidak mengerti, apa yang ada di pikirannya? Dasar bocah gila.
“Untuk kebaikanmu. Seharusnya kau berterima kasih padaku,” ujarnya sambil cengengesan. Aku berdiri di hadapannya. Tanganku melayang dengan sendirinya dan akhirnya mendarat dengan suara menyakitkan di pipinya.
Aku menunggunya mengatakan sesuatu, tapi ia hanya diam sambil memegangi pipinya. Matanya menatap ke arah lain. Merasa tidak ada gunanya berlama-lama disini, akhirnya aku pergi meninggalkannya.

The love in our hearts when we first met, where has it gone to? Have we gotten rid of it?                           SE7EN - I’M GOING CRAZY
Esoknya—saat jam kuliah sudah usai. Kini, aku duduk di kursi taman bersama Gi Kwang. Ya, Gi Kwang. Saat dia sedang duduk sendiri, aku menghampirinya. Jadi sejak tadi kami duduk bersebelahan, tanpa ada yang bicara.
“Jadi, kau sudah jadian dengan Tae Min?” Suara itu terdengar lesu.
“Siapa gadis itu?” tanyaku. Dia menatapku. Matanya menyiratkan jawab-pertanyaan-dengan-jawaban-bukan-dengan-pertanyaan. Tapi aku tidak peduli. Aku akan menjawab pertanyaannya setelah ia menjawab pertanyaanku.
“Tidak berubah. Tetap keras kepala,” katanya saat melihatku diam. “Dia sepupuku. Kemarin aku mau mengenalkan padamu. Dia memang agak manja.” Aku tersentak. Malu sendiri.
Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya ke hadapanku. Dia sudah berdiri di hadapanku.
“Apa?”
“Selamat atas jadiannya kau dengan Tae Min.” Ia menjabat tanganku, lalu melepaskannya. “Aku harus pergi. Ada urusan.” Tanpa sempat kucegah, ia pergi. Saat aku mengejarnya dan berhasil mendapatkan tangannya, tanpa menoleh, ia melepaskan tanganku dengan kasar. Aku tertegun melihatnya pergi.
Aku kembali ke kursi dengan lesu. Dari jauh, aku melihat Tae Min duduk di kursi itu dan menatapku. Aku terhenti, lalu berbalik. Aku sedang tidak ingin bertemu dengannya. Kejadian kemarin adalah hal yang paling kubenci seumur hidupku. Kukira dia baik, tapi ternyata… dia tahu ada Gi Kwang, tapi dia malah menciumku. Dia benar-benar mendukung putusnya hubungan kami.

Hampir sebulan berlalu dengan Gi Kwang yang selalu lari dariku, dan Tae Min yang kini tidak pernah lagi muncul di hadapanku. Baguslah, berarti aku tidak perlu repot-repot menghindarinya.
Saat melihat Gi Kwang, aku mengejarnya, lalu menarik tangannya. Memaksanya berbalik.
“Dengarkan penjelasanku!”
“Apa yang perlu di jelaskan?!” Gi Kwang berteriak hingga membuatku tersentak. Tangannya yang kupegang bergetar. Matanya memerah. Ia cepat-cepat memejamkan matanya dan bersiap untuk berbalik.
“Aku dan Tae Min tidak pacaran!” teriakku. Dia berhenti. Aku berjalan menuju hadapannya. Matanya menerawang ke belakangku.
“Gi Kwang—”
“Kau tidak perlu berbohong untuk menenangkanku. Aku sudah tidak peduli lagi denganmu dan Tae Min. Lanjutkan saja hubungan kalian berdua. Anggap aku tidak pernah ada.” Ia tersenyum sinis. Tanganku melayang lagi, dan mendaratkan tamparan kedua di pipinya. Kesabaranku sudah habis.
“Kau tidak tahu apa-apa!” teriakku histeris. Air mataku keluar lagi. Tapi Gi Kwang tidak peduli. Ia berbalik dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku terduduk. Dan menangis. Tapi perlahan aku berdiri, lalu berlari mengejarnya.

Lee Gi Kwang
I dislike how our love has changed, I’m tired of repeating our arguments everyday                          SE7EN - I’M GOING CRAZY
Begini saja hubungan ini. Berakhir menyakitkan. Dengan teriakan penuh amarah yang keluar dari kedua manusia yang sama-sama keras kepala.
Hubunganku dan Hyo Rim. Semua sudah selesai. Saat melihatnya dengan Tae Min di taman itu, hatiku remuk. Ini memang salahku. Kalau saja sebelumnya aku tidak terbawa amarah, semua tidak akan terjadi. Aku tahu dia sangat dekat dengan Tae Min. Tapi aku kekasihnya.
Siapa yang tidak muak melihat kekasihnya terus membicarakan lelaki lain?
Aku muak. Sangat muak. Aku marah padanya. Dan sudah pasti dia bercerita pada teman terdekatnya—Tae Min. Aku tahu saat dia bilang dia dan Tae Min tidak pacaran, hubungan mereka sedang tidak baik. Aku, tentu saja tidak sudi di jadikan pelampiasan. Aku tidak bodoh.
Dan aku tahu Tae Min menyukainya. Sejak dulu, kami selalu bersaing. Saling membohongi, berpura-pura, hanya untuk mendapatkan yang kami inginkan. Entah kenapa, keingingan kami selalu sama. Bahkan sampai Hyo Rim juga. Kami berdua sama-sama menyukainya.
Tiba-tiba ponselku bergetar.
“Kenapa, umma?” tanyaku setelah menempelkan ponsel itu di telingaku.
“Adikmu kritis. Cepat ke rumah sakit!” Suara umma-nya terdengar panik. Aku yang mendengarnya juga ikut-ikutan panik. Untungnya rumah sakit itu tidak terlalu jauh dari universitasku. Aku memasukkan ponselku ke dalam kantong dan berlari sekencang mungkin.
Aku memang membenci adikku ini, sangat membencinya. Tapi aku juga menyayanginya. Sudah sebulan ini dia di rumah sakit. Ia menderita kanker otak. Dokter berkata penyakit itu sulit terdeteksi karena tempat pertumbuhan kanker itu baru di ketahui sebulan yang lalu. Dan itu artinya sudah menderita penyakit itu sejak lama.
Aku terkejut saat sebuah mobil sedang melaju ke arahku. Aku terhenti begitu saja, bingung kenapa mobil itu sudah berada sedekat ini denganku. Selanjutnya aku merasakan sakit yang amat sangat hingga tubuhku melayang, kemudian kepalaku membentur sesuatu dengan sangat kuat. Pandanganku gelap seketika.

Aku terbangun di sebuah tempat asing. Aku tidak tahu ini di mana. Aku hanya di baringkan di lantai beralaskan karpet.
Tiba-tiba sekelilingku yang tadinya terang berubah menjadi gelap. Dalam kegelapan itu, aku mendengar suara. Aku duduk dan menegakkan tubuhku.
“Hyung, kau baik-baik saja?” Aku mengenali suara itu. Adikku.
“Tae Min, jangan bermain-main. Nyalakan lampunya,” perintahku. Ia hanya diam. Aku menghela nafas.
“Hyung, maafkan aku.” Suara itu terdengar lagi. “Aku memanfaatkanmu untuk mendapatkan Hyo Rim. Sekarang semua itu sudah tidak ada gunanya lagi. Hyo Rim membenciku, dan hidupku sudah tidak lama lagi.” Nada putus asa terdengar kental di suara itu.
“Tae Min, jangan berkata begitu. Kau bisa sembuh.”
“Tidak. Aku harus pergi, hyung. Aku titip Hyo Rim padamu. Ingat pesan ini: jaga dia baik-baik. Dia sangat mencintaimu, hyung. Bukan mencintaiku, dan dia sangat membutuhkanmu.”
Perasaan takut semakin mencekamku. Aku membencinya karena sudah mengambil Hyo Rim dariku. Tapi aku juga menyayanginya. Bagaimana pun juga, kami lahir dari rahim wanita yang yang sama.
“Tolong, hyung. Maafkan aku. Dan jaga Hyo Rim.”
Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan perempuan. Aku memanggil Tae Min, tapi dia sudah tidak bersuara lagi. Dan aku mengenali suara tangisan ini. Ini suara Hyo Rim.
Tanganku di genggam. Perlahan cahaya memasuki mataku. Kini aku melihat seorang perempuan duduk menangis tersedu-sedu. Saat mataku membuka dengan sempurna, aku bisa merasakan tempat empuk yang sedang aku tiduri. Aku berada di atas tempat tidur, bukan karpet.
Rupanya aku bermimpi. Aku bernafas lega. Dan ingatanku kembali pada Tae Min. Tujuanku untuk menjenguknya di rumah sakit. Aku segera terduduk.
“Tae Min…” Aku mencarinya. Perempuan tadi tiba-tiba memelukku. Hyo Rim.
“Gi Kwang, dia…” Aku tertegun mendengar kata-kata yang selanjutnya keluar dari mulutnya. Tae Min. Dia sudah tiada. Aku membiarkan Hyo Rim menangis di pundakku. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tiba-tiba kulihat pintu kamar terbuka, dan umma masuk. Ia menghampiriku dan Hyo Rim, kemudian memeluk kami. Perlahan tanganku juga memeluk mereka berdua. Kami bertiga berpelukan, saling mengisi rasa kehilangan yang sedang kami rasakan.

 Orang-orang sudah pergi meninggalkan pemakaman. Hanya aku dan Hyo Rim yang masih duduk di sini, menatap makam itu dalam diam.
“Kenapa kalian menyembunyikan hal ini…?” Aku mendengar gumaman Hyo Rim. Ia seolah tidak bertanya pada siapapun. Mungkin padaku, tapi aku tidak ingin menjawabnya.
“Gi Kwang, katakan padaku…” Aku menghela nafas. Tanganku menarik kepalanya untuk menyandar di pundakku, lalu mengelusnya perlahan.
“Karena kami sama-sama mencintaimu, Hyo Rim,” kataku setelah beberapa saat. Ia menggenggam erat sebelah tanganku. Akhirnya aku mengatakannya juga.
“Jangan pernah menyembunyikan hal apa pun lagi dariku, Gi Kwang.”
Aku mengangguk.
“Pasti.”
There’s nothing that can drive me insane   
 I’m still loving you, my tears are still no enough                                                                                Even when it’s hurting a lot, I’ll try finding my way back
Goodbye…

Copyright © 2009 Dintaeyang's blog All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.