“Hae Rin-ah, bukalah pintu. Dong Hae sudah datang.” Teriakan Onni membuatku geram sendiri. Aku sedang sibuk membaca novelku dan ia mulai berlagak menyuruh-nyuruh. Kenapa orang itu datang lagi ke sini setelah 2 bulan lamanya?
“Kau yang punya urusan, jadi bukalah pintu sendiri,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari novelku.
“Kau tidak lihat aku sedang merias wajahku? Cepatlah! Buka pintu!” Suaranya meninggi.
“Malas!”
“Ya! Hae Rin-ah! Cepat!” Tepat saat aku menutup novelku, sebuah gantungan baju melayang padaku. Untungnya aku sempat menghindarinya. Segera aku berlari keluar kamar dan menuju pintu depan untuk membuka pintu.
Wajah Dong Hae muncul di hadapanku saat aku membuka pintu. Kurasa aku mulai bisa melupakannya sejak ia memutuskanku saat itu karena aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Tapi rasanya ada yang sakit. Ingin sekali aku memukul wajahnya. Sayang, aku tidak tega merusak wajahnya yang tampan itu.
“Kakakmu…”
“Masuk saja, tunggu di dalam. Sebentar lagi dia akan keluar,” kataku. Lalu aku meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Aku kembali ke kamar dan melihat kakakku sibuk mematut dirinya di cermin. Sampai sekarang pun aku tidak mengerti kenapa dia hobi melakukan itu semua hanya untuk jalan bersama Dong Hae. Tidak perlu di rias pun, menurutku dia sudah cantik.
“Onni, dia sudah di luar,” kataku memperingatkan. Ia berbalik dan menatapku dengan mata berbinar.
“Bagaimana penampilanku? Apa ada yang kurang?” tanyanya. Aku melihatnya sekali lagi. Apakah melihat di cermin juga belum cukup baginya?
“Tidak ada, onni. Malam ini kau sangat, sangat, sangat cantik,” pujiku tulus. Ia mengangguk puas lalu berterima kasih. Ia mengambil tas kecilnya lalu berjalan keluar kamar.
“Baiklah, aku pergi dulu,” katanya sebelum keluar kamar. “Jangan lupa kunci pintu. Handphone-mu taruh di dekat bantal, jadi saat kau sudah tidur aku bisa—”
“Ya, ya. Aku mengerti,” potongku cepat. Aku sudah bosan mendengar segala macam perintahnya jika ingin pergi bersama Dong Hae.
Setelah mereka pergi, aku langsung mengunci pintu. Aku mengambil ponselku lalu mengetik sebuah pesan singkat.
---
Aku masih fokus mengerjakan tugas saat tiba-tiba ponselku bergetar dengan ributnya. Sambil mendesah, aku mengambil ponsel itu dan membuka sebuah pesan yang masuk.
Min Ho-ah, ke rumahku sekarang! Kakakku baru saja pergi!
Nama Hae Rin tertera sebagai pengirim pesan itu. Arrggh, anak ini! Dia tidak tahu aku sedang banyak tugas! Dan dia tidak pernah peduli!
Aku memutuskan untuk membalasnya.
Malas. Sedang banyak tugas.
Send.
Baru beberapa saat aku meletakkan ponselku dan mengerjakan soal kembali, ponsel sialan itu kembali bergetar. Ya ampun! Hae Rin itu keterlaluan. Dasar keras kepala.
Kumohon, Min Ho. Aku tidak tahu harus cerita dengan siapa lagi selain denganmu.
Aku terdiam sejenak setelah membaca pesan itu. Hal apa lagi yang dialaminya?
Apa yang terjadi?
Agak lama—sekitar 10 menitan—baru ia membalas pesanku. Tumben ia lambat membalasnya. Jangan-jangan ia menangis dulu? Ah, Hae Rin yang kukenal tidak pernah menangis, sebesar apapun masalahnya. Bahkan saat kekasihnya memutuskan hubungan mereka dan lebih memilik kakaknya, ia sama sekali tidak menangis. Dia sangat kuat.
Kuakui, aku kagum padanya. Dia bahkan tidak ingin memberitahu kakaknya karena ia tidak mau merusak kebahagiaan kakaknya. Yah, padahal itu mungkin saja berdampak buruk bagi kebahagiaannya. Tapi sekalipun ia tidak pernah menampakkan kesedihannya di hadapanku.
Makanya, kerumahku sekarang. Kutunggu.
Aku merapikan tugas-tugasku, kemudian mengenakan jaket dan memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Aku segera pergi meninggalkan rumah.
---
Aku masih sibuk mengganti-ganti channel di televisi saat tiba-tiba mendengar suara bel rumah. Akhirnya dia datang juga!
“Ada apa?” tanya Min Ho begitu aku membukakan pintu untuknya.
“Temani aku. Aku sendirian,” kataku. Ia terdiam menatapku. Tiba-tiba ia memegang puncak kepalaku perlahan. Makin lama makin keras dan ia menjitakku. “Ya! Sakit, bodoh.”
“Aku sedang banyak tugas, anak pintar,” katanya. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang amat sangat padaku. Aku meringis.
“Maafkan aku. Lebih baik kita masuk saja. Dingin sekali.” Aku memeluk diriku sendiri. Ia menerobos masuk ke dalam dan langsung duduk di sofa yang ada di depan televisi. Aku menyusulnya dan duduk di sebelahnya.
“Ya! Berikan padaku. Aku mau nonton,” teriakku saat ia mengambil remote. Cepat-cepat kutarik remote itu darinya. Min Ho dengan mudah langsung menariknya. Melihatnya menyembunyikan remote itu jauh dariku, aku hanya duduk pasrah. Aku jadi malas sekali mengambilnya. Kubiarkan ia mengganti-ganti channel televisi.
“Ngomong-ngomong, tadi dia datang menjemput kakakku,” kataku.
“Lalu?” Ia tidak mengalihkan pandangannya dari televisi.
“Aku merasa… aku masih… em… mungkin…”
“Apa yang kauinginkan lagi darinya?”
“Entahlah, Min Ho. Tapi rasanya… kenapa disini… sakit?” Aku meletakkan telapak tanganku di dada. Berhentilah. Sejak kapan aku jadi secengeng ini? Seperti bukan diriku saja!
“Hae Rin, kau menangis?” Dia menoleh padaku. Pandangan mataku mengabur. Cepat-cepat kutundukkan kepalaku—tidak ingin Min Ho melihatku menangis. Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri yang menangis tiba-tiba. Tapi di sisi lain aku tidak mampu menahannya lagi.
“Tidak apa-apa, Hae Rin. Tenanglah.” Ia mendekatiku. Aku tidak mengelak saat ia memelukku. Aku merasa membutuhkannya. Kalau dia tidak ada, siapa yang bisa mengerti tentang perasaanku?
---
Aku tertegun saat merasakannya terisak di dadaku. Aku mengeratkan pelukanku padanya. Aku ingin dia merasa tenang.
Memang benar, saat dia senang, aku tidak bisa ikut merasakan senangnya. Begitu pula saat dia sedih. Aku tidak bisa merasakan kesedihannya, tapi aku ingin di saat-saat seperti itu aku bisa ada untuknya. Aku ingin jadi yang pertama berada di sampingnya. Aku ingin jadi orang pertama yang menenangkannya.
Tapi—satu hal yang tidak bisa kumengerti darinya—kenapa dia tidak pernah melihatku? Kenapa dia hanya melihat orang yang tidak akan pernah lagi melihatnya?
---
Jam Sembilan malam, Min Ho baru pulang. Setengah jam setelah itu, aku sudah tertidur kalau saja ponselku tidak berada di sampingku dan berdering dengan ributnya. Sudah pasti kakakku. Dengan malas-malasan aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke depan pintu untuk membukakannya.
Tepat saat pintu terbuka lebar, kulihat—di depan pagar—Dong Hae dan kakakku sedang berciuman dengan mesranya. Aku segera berbalik. Nafasku jadi tidak beraturan.
Ya, Tuhan. Aku harus ingat pesan Min Ho. “Dia sudah jadi milik kakakmu. Lagipula kau lebih memilih kakakmu bahagia, kan?”
Tapi kenapa rasanya… menyakitkan sekali?
---
Esok harinya, sepulang sekolah, seperti biasanya aku dan Hae Rin menghabiskan waktu hingga sore di sekolah untuk main basket. Yah, kurasa hanya dengan ini ia bisa melupakan kesedihannya semalam. Dia bercerita padaku tadi pagi, bahwa semalam ia melihat kakaknya dan Dong Hae berciuman di hadapannya.
Aku tidak mengerti. Kenapa dia berubah secepat itu? Kupikir dia kuat untuk menahan semuanya. Setelah sekian lama tidak bertemu Dong Hae, mungkin dia kuat menahannya. Tapi segala pertahanannya tiba-tiba runtuh hanya karena bertemu Dong Hae yang tidak mencapai 5 menit. Mungkin karena itu.
“Ah, capek! Kau main sendiri saja!” Ia terduduk di tengah lapangan. Keringat membanjiri wajahnya. Ia melempar bola ke arahku dan segera kutangkap. Aku berjalan ke arahnya, lalu duduk di sampingnya.
“Jam berapa ini?” tanyanya. Aku melihat jam lalu menoleh padanya. “Jam setengah 4. Mau pulang?”
“Nanti. Aku masih capek. Lagipula aku belum menang darimu!” ucapnya kesal setengah mati. Aku tergelak.
“Mana mungkin pemula sepertimu mengalahkanku!” kataku bangga. Ia mendengus kesal. Kami terdiam beberapa lama. Hanya nafas kami yang terdengar mengisi keheningan sore itu.
“Sebenarnya, apa aku salah mencintai orang yang juga dicintai kakakku sendiri?” gumamnya. Aku tertegun dan langsung menoleh padanya yang sedang mendongak menatap awan.
---
Saat keheningan menyelimuti kami, pikiranku melayang lagi. Tentang kakakku. Dan Dong Hae. Aku masih mencintai Dong Hae. Kalau aku bersikeras menjadikan Dong Hae sebagai kekasihku kembali, aku hanya akan menyakiti kakakku. Aku tidak mau itu terjadi, karena aku sangat menyayangi kakakku.
Mataku menatap awan berarak yang terus bergeser. Seandainya aku bisa jadi awan itu. Hanya melayang-layang di atas sana. Tidak perlu memikirkan hal seperti ini. Cinta yang bodoh.
Ya, Tuhan. Sebenarnya, apa aku salah mencintai orang yang juga dicintai kakakku sendiri?
“Tidak. Tidak salah. Tidak ada yang berhak melarang cintamu terhadap dia.” Suara Min Ho membuyarkan lamunanku. Aku terkejut dan menoleh. Ia sedang menatapku serius.
“Min Ho, kau bisa…”
“Hae Rin, tatap mataku. Lihat aku. Lihat hanya padaku, Hae Rin,” ucapnya. Aku tidak mengerti. Apa yang dibicarakannya?
“Tidak bisakah kau berhenti melihat orang yang tidak mungkin mencintaimu lagi?” tanyanya. Aku tertegun. Aku tidak menyangka dia akan bertanya seperti itu.
“Min Ho…” Kata-kataku terputus saat ia berdiri. Ia menatap tajam padaku.
“Kau tidak seperti Hae Rin yang kukenal. Hae Rin yang kukenal tidak secengeng ini. Hanya karena seorang lelaki seperti dia, kau jadi begitu menyedihkan!” Aku terkejut mendengar suaranya meninggi.
“Kau tidak berhak bicara seperti itu! Kau tidak mengerti perasaanku!” Aku berdiri dan berteriak di hadapannya. Tiba-tiba saja kemarahanku memuncak.
“Berhentilah memikirkannya, Hae Rin. Dia tidak akan pernah melihatmu lagi!” kata Min Ho. Aku terdiam. Min Ho benar. Tapi aku tidak ingin memercayainya. Dong Hae pasti akan melihat kepadaku lagi suatu saat.
“Lihatlah kenyataan, Hae Rin!”
Min Ho berbalik. Aku terdiam. Aku berusaha menyerap kata-katanya sambil menatap punggungnya yang tertutup tas ransel yang semakin menjauh.
---
Sampai dirumah, aku duduk di sofa. Pikiranku kembali ke kejadian di lapangan basket tadi. Astaga, apa yang sudah kukatakan padanya?!
Bodoh! Bukankah aku sudah bertekad akan berada di sampingnya dalam keadaan apapun. Saat dia senang, maupun sebaliknya. Tapi apa yang kulakukan?! Aku malah membentaknya dengan kata-kata kasar. Min Ho, apa yang terjadi pada dirimu?
Esok harinya, saat berangkat sekolah, seperti biasanya aku menjemput Hae Rin karena rumah kami dekat dan biasanya kami berangkat sekolah bersama. Tapi kata kakaknya, ia sudah berangkat sekolah. Dengan sedikit kesal, aku berangkat ke sekolah sendirian.
Begitu sampai di sekolah, aku langsung ke kelas Hae Rin—kelas kami memang berbeda. Aku melihatnya duduk menunduk di mejanya. Segera kuhampiri dia.
“Hae Rin...,” panggilku. Ia mengangkat kepalanya dan tiba-tiba menatap tajam ke arahku.
“Pergi! Kalau kau memang sebegitu bencinya melihatku menyukainya, lebih baik kita tidak usah berteman! Kukira kau teman baikku!”
Aku tertegun. Kejadian kemarin kembali terulang di pikiranku. Bodoh! Seandainya saja aku tidak berkata seperti itu, semua akan baik-baik saja. Kenapa aku tiba-tiba terbawa emosi saat itu?
“Pergi!” teriaknya sambil mendorongku. Aku menatapnya tidak percaya sambil berjalan mundur. Seburuk inikah dampaknya?
---
Pulang sekolah, aku termenung di meja belajar di kamarku. Aku menyapu pandangan ke semua benda yang ada di atas meja. Tatapanku berhenti di kalender, dengan satu tanggal di bulan itu yang kulingkari dengan spidol merah.
Aku mengambilnya dan mendekatkannya agar bisa melihatnya dengan jelas. Di sana jelas-jelas tertulis nama Min Ho. Tanggal 9 Desember. Aku tertegun. Ini hari Kamis. Di kalender itu, tanggal 9 Desember hari apa?
Hari Kamis! Astaga. Hari ini!
Aku teringat kembali kejadian tadi pagi saat aku membentaknya di hadapan seisi kelas. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya begitu. Tapi tadi pagi itu, entah kenapa aku kesal sekali padanya. Mungkin karena kejadian kemarin.
Dan kalau kupikir sekali lagi, apa yang dia bilang kemarin juga tidak ada yang salah. Aku juga mulai menyadari diriku terlalu berlebihan untuk hal ini. Dia benar. Untuk apa aku terus berharap pada orang yang tidak mungkin lagi melihatku?
Aku segera mengambil jaket dan memasukkan ponsel serta dompet di saku jaketku. Aku langsung keluar rumah setelah mengunci pintu.
---
Tidak bisa. Aku tidak bisa diam terus. Aku harus bicara padanya. Aku harus minta maaf atas kata-kataku yang kurang ajar kemarin.
Tepat saat aku menutup pintu rumah, hujan turun dengan lebatnya. Sial! Akhirnya aku menerobosnya sambil menutupi kepalaku dengan jaketku.
Baru aku menutup pagar dan berbalik, dari kejauhan aku melihat seorang perempuan berlari-lari mendekat. Ke arahku? Benar, dia ke sini. Ia memegang sebuah kotak berukuran sedang yang di tutupi oleh—sepertinya—jaket. Ia hanya mengenakan kaos.
Aku berlari menghampirinya karena tidak tega melihatnya hujan-hujanan begitu. Saat jarak kami sudah dekat, barulah aku mengenali siapa dia.
Hae Rin.
Dia juga sedang menatapku dalam diam. Saat ia bersiap untuk melangkah, aku segera maju dan menghentikannya. Aku melepaskan jaketku dan meletakkan jaket itu di atas kepalanya.
“Kau mau kemana?” tanyaku.
“Min Ho, maafkan aku. Maaf,” ucapnya sambil menunduk. Kenapa dia yang minta maaf?
“Hae Rin, ada apa?” tanyaku khawatir.
“Aku tahu, aku memang salah. Kau benar. Aku terlalu berlebihan memikirkan Dong Hae yang tidak akan pernah memikirkanku. Maaf, tadi pagi aku membentakmu. Seharusnya aku berterima kasih padamu.”
Aku tersenyum. Perlahan aku mengangkat wajahnya. Entah atas dorongan apa, aku mendekatkan wajahku padanya. Ia tidak menolak hingga akhirnya bibir kami bertemu.
Aku lalu melepasnya. Ia hanya menunduk.
“Hae Rin, lihat aku,” kataku. Perlahan, ia mengangkat wajahnya. “Aku mencintaimu.”
Wajahnya terlihat terkejut, tapi seperti biasanya, ia berhasil merubah raut wajahnya menjadi biasa saja. Kurasa dia sudah kembali secuek dulu. Dan aku lebih menyukainya yang seperti itu.
“Lalu?” tanyanya. Aku memutar bola mataku karena kesal. Aku segera mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, kau bawa apa?” tanyaku sambil menunjuk kotak yang di bawanya. Kelihatannya… kotak itu hancur beserta isinya.
“Eh, ini… tadinya ingin kuberikan padamu sebagai ucapan selamat ulang tahun, tapi… kelihatannya sudah hancur,” jawabnya ragu. Kenapa dia jadi tidak nyambung? Aku tanya dia bawa apa, kenapa dia jawab begitu?
Dan aku cukup terkejut karena ternyata ia masih mengingat ulang tahunku.
“Kau ingat hari ini ulang tahunku?” tanyaku.
“Ya, sejam yang lalu.” Ia menjawab sambil meringis. Aku memutar bola mataku.
Sial. Tapi ulang tahun kali ini tidak akan pernah kulupakan. Karena dia.
FIN