2

FF/ONESHOOT/NOTHING BETTER/PG15

Posted by Dindin on 01.27 in ,



-for oyin-


Kata orang, jika kematian sudah dekat dengan kita, maka semua kejadian-kejadian yang pernah di alaminya akan terbayang begitu saja, seperti potongan-potongan film.
Ia tidak bisa melawan pukulan-pukulan yang dari tadi terus menghunjaminya tanpa berhenti sedikitpun. Ketika satu orang berhenti memukulnya, tanpa memberi kesempatan padanya, satu orang lainnya memukulnya lagi.
Dia ingat umma dan appa-nya. Sebentar lagi ia akan menyusul umma dan appa-nya. Hanya itu yang terbayang dari tadi. Tapi sebuah pukulan menghantam tepat di perutnya, dan darah keluar lagi dari mulutnya. Ia teringat kekasihnya. Ia berharap pamannya tidak berbuat apapun pada kekasihnya itu. Ia rela mati sekarang, asalkan orang tersayangnya tidak celaka.


Malam itu, cuaca cerah. Seung Ri menjalankan motornya pelan menyusuri jalan raya. Setelah setengah jam lamanya, akhirnya ia sampai di rumah kekasihnya, Seung Hyo.
“Annyeong, jagii.” Suara seseorang terdengar beriringan dengan terbukanya pintu rumah. Seung Ri membuka helmnya dan menoleh ke sumber suara. Senyumnya mengembang kala ia melihat Seung Hyo sedang berjalan ke arahnya.
“Annyeong, jagii.” Kata Seung Ri lalu mengecup puncak kepala Seung Hyo yang kini sudah berdiri di depannya.
“Masuklah.” Kata Seung Hyo. Seung Ri mengangguk lalu turun dari motor. Dia merangkul Seung Hyo selama berjalan masuk ke dalam rumah. Seperti biasanya, mereka langsung menuju ke taman di belakang rumah Seung Hyo. Sampai di sana, mereka langsung duduk di ayunan.
“Jagii, kau darimana saja? Kenapa lama sekali?” Tanya Seung Hyo.
“Mian, tadi aku masih ada pekerjaan. Ketika pekerjaanku selesai, aku langsung kesini, kau tahu?” Kata Seung Ri sambil mengelus rambut Seung Hyo. Seung Hyo menyandarkan kepalanya di bahu Seung Ri. Seung Hyo hanya tersenyum mendengar kata-kata Seung Ri.
“Memang pekerjaanmu apa, sih, jagii?” Tanya Seung Hyo. Seung Ri terkejut dan langsung berpikir keras untuk mencari jawaban yang tepat.
“Editor di sebuah majalah. Ya, editor.” Katanya. Seung Hyo melihat ke arah Seung Ri dengan bingung. Seung Ri berusaha tersenyum agar tidak terlihat mencurigakan. Ia akhirnya bisa bernafas lega ketika Seung Hyo tidak menghiraukannya lagi.
“Jagii, kau suka bin—” Kata-kata Seung Hyo terputus ketika suara ponsel entah milik siapa berbunyi. Seung Ri yang menyadari bahwa itu adalah suara dari ponselnya, segera beranjak dari ayunan dan berjalan menjauhi Seung Hyo. Ketika di rasa jaraknya tidak membuat Seung Hyo bisa mendengar percakapannya, ia segera membuka flap ponselnya lalu menempelkannya ke telinganya.
“Ne,”
“Seung Ri, kembali ke rumah sekarang juga. Ini penting.” Suara pamannya terdengar.
“Ada apa, ajeus—”
“Tidak usah banyak bicara, cepat datang sekarang juga.”
“Ne, ne. Aku segera ke sana.” Kata Seung Ri. Setelah itu sambungan di putuskan oleh pamannya. Seung Ri menutup flap ponselnya dan memasukkannya kembali ke saku jaketnya. Ia berbalik dan mendatangi Seung Hyo.
“Jagiya, mianhae. Aku harus kembali sekarang.” Kata Seung Ri. Seung Hyo langsung cemberut.
“Kenapa? Pekerjaan lagi?” Tanyanya. Seung Ri mengangguk pelan.
“Mian, jagii. Tapi akan kuusahakan agar besok kita bisa jalan-jalan.” Kata Seung Ri sambil menggenggam tangan Seung Hyo. Seung Hyo memaksakan senyumnya.
“Janji?”
“Akan kuusahakan.” Kata Seung Ri. Seung Hyo tersenyum lalu menghela nafas.
“Pergilah.”
“Baiklah, jagii. Aku pergi dulu. Saranghae.” Katanya sambil mengecup puncak kepala Seung Hyo.
“Nado Saranghaeyo.”

Seung Ri sampai di rumah dan segera masuk ke dalam dengan terburu-buru. Ketika ia masuk ke dalam ruang kerja pamannya, sebuah buku tebal di lempar ke arahnya. Ia terkejut tetapi berhasil menghindarinya.
“Kau tahu, keterlambatan tidak akan di maafkan. Terlambat 10 menit. Push up 10 kali.” Suara pamannya terdengar. Tanpa banyak basa-basi, Seung Ri segera menjalankan perintah pamannya. Setelah hitungan ke 10, Seung Ri bangkit dan berdiri di depan pamannya.
“Aku punya pekerjaan baru untukmu.” Kata pamannya. Seung Ri tetap diam dan terus mendengarkan.
“Kau dekat dengan Seung Hyo, kan? Apa hubunganmu dengannya?” Tanya pamannya. Seung Ri terkejut. Lama kelamaan ia berpikir, pamannya memiliki banyak mata-mata. Pasti tahu bahwa ia dekat dengan Seung Hyo. Ia akhirnya mengangguk.
“Ne, ajeussi. Aku temannya.” Kata Seung Ri. Ia tidak ingin memberitahu status hubungannya yang sebenarnya dengan Seung Hyo, karena itu akan menjadi masalah besar.Seung Ri berharap tugas kali ini sama sekali tidak membawa Seung Hyo. Tapi sepertinya tidak mungkin tidak, karena pamannya sudah menyebut-nyebut nama Seung Hyo.
“Kau harus membawa Seung Hyo kemari.” Kata pamannya singkat. Seung Ri langsung merasa seolah-olah dirinya tersambar petir.
“U-untuk apa, ajeussi?” Tanyanya.
“Kau tidak usah banyak tanya, lebih baik kau kerjakan saja tugasmu. Hanya itu, pergilah.” Kata pamannya sambil mengibaskan tangan. Seung Ri mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruangan itu.

Seung Ri memang tinggal dengan pamannya, dan juga menjadi agen rahasia untuk perusahaan pamannya. Nama orang itu, Lee Hyun Min. Sebenarnya, dulu dia tinggal dengan orang tuanya. Tetapi karena orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil, ia pun di adopsi oleh pamannya. Ia juga tidak punya pilihan lain karena saat itu ia masih berumur 7 tahun. Dan sekarang, pamannya juga tidak mengizinkannya untuk tinggal sendiri.
Ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran pamannya itu. Tetapi ia juga tidak bisa melawan, karena melawan sama saja dengan mencari kematian. Ia berjalan memasuki kamarnya. Sesampainya di dalam kamar, ia melepas jaketnya dan berbaring di atas tempat tidur. Ia menoleh ke samping tempat tidur dan melihat fotonya bersama Seung Hyo di samping meja. Ia mengambil foto itu dan menatapnya lama. Air matanya jatuh tiba-tiba. Ia merasa bersalah pada Seung Hyo.
Mianhae, jagiya.


Seung Hyo terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui sela-sela gordennya. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan merapikan tempat tidur, setelah itu ia membuka gorden. Cahaya matahari langsung menerpanya.
Karena ini hari libur, hari ini ia akan jalan dengan Seung Ri—sesuai janji Seung Ri semalam. Ia keluar kamar dan di sambut oleh umma-nya yang sedang sarapan bersama appa-nya. Seung Hyo menyapanya lalu ikut bergabung dengan mereka.
Selesai sarapan, ia pergi ke kamarnya dan mempersiapkan pakaian yang akan di pakainya untuk jalan nanti. Setelah itu, ia pergi mandi. Tepat ketika ia selesai mandi, umma memanggilnya dan berkata bahwa Seung Ri sudah menunggu di depan rumah. Ia cepat-cepat mengenakan pakaiannya lalu keluar kamar setelah selesai.
“Annyeong, jagii!” Sapa Seung Ri ketika melihat Seung Hyo keluar dari rumah lalu menutup pintu.
“Annyeong, jagii.” Kata Seung Hyo.
“Kau cantik sekali.” Seung Ri memerhatikan Seung Hyo dari bawah sampai ke atas. Seung Hyo mengibaskan tangannya. *wawakembangburitnyakembangburitnya*
“Sudahlah. Keluar jurus mautnya.” Kata Seung Hyo. Seung Ri tertawa.
“Sudah siap?” Tanya Seung Ri. Seung Hyo mengangguk. Seung Ri memberikan helm yang langsung di sambut dengan cepat oleh Seung Hyo. “Naiklah.”
Hari itu, mereka berkeliling menikmati keindahan kota Seoul. Saat sedang makan siang di sebuah restoran, tiba-tiba Seung Hyo berkata, “Jagii, aku belum pernah kerumahmu. Bolehkah aku kesana?” Seung Ri tersenyum lalu mengangguk. Setelah itu, ia kembali menyuap makanannya.
Selesainya mereka makan siang, mereka segera menuju ke rumah Seung Ri. Seung Ri mengajaknya masuk ke kamar dan langsung menuju ke beranda. Seung Hyo menganga selebar-lebarnya ketika melihat pemandangan dari beranda tersebut.
“Suka?” Tanya Seung Ri. Seung Hyo mengangguk berkali-kali dan tiba-tiba memeluk Seung Ri erat. Seung Ri terkejut.
“Gomapta, jagii. Saranghaeyo.” Kata Seung Hyo. Seung Ri tersenyum dan mengelus kepala Seung Hyo pelan. Dalam hati ia merasa sakit, hal ini pasti akan menjadi yang terakhir kalinya. Mungkin ini adalah saat terakhir ia melihat Seung Hyo tersenyum. Tanpa di sadarinya, air matanya jatuh tiba-tiba. Seung Hyo merasa pundaknya menghangat. Ia segera melepas pelukannya dan melihat Seung Ri sedang mengucek matanya.
“Jagii, kau kenapa?” Tanya Seung Hyo bingung. Melihat Seung Ri menangis membuatnya merasa sangat sedih.
“Aku tidak apa-apa. Mataku kemasukan debu.” Kata Seung Ri. Seung Hyo melihat matanya memerah.
“Jagii…” Kata Seung Hyo lagi. Seung Ri menggeleng.
“Aku tidak apa-apa! Sebentar, ya. Aku akan mengambil minum untuk kita berdua.” Kata Seung Ri sambil beranjak dari beranda dan pergi meninggalkan Seung Hyo yang hanya bengong.
Seung Hyo masih bingung dengan sikap Seung Ri. Seung Ri pasti berbohong. Dia menangis tadi. Tapi, kenapa?
Tiba-tiba ia merasa matanya ditutupi oleh kain tebal. Ia berusaha memberontak, tetapi tiba-tiba tangan dan kakinya di tahan oleh beberapa orang lalu diikat. Ia segera berteriak agar pertolongan segera datang, tetapi teriakannya terputus ketika ada yang menutup mulutnya dengan kain tebal. Selanjutnya, ia merasa tubuhnya di angkat oleh orang itu dan di bawa keluar kamar ketika mendengar pintu kamar dibuka.
Dari kulitnya ia bisa merasakan, orang yang menggendongnya saat ini hanya memakai kaos. Ia ingat Seung Ri tidak memakai kaos, tetapi memakai jaket. Atau mungkin Seung Ri mengenakan kaos di balik jaketnya?
Ia mendengar bunyi pintu di buka dan ia di bawa masuk ke ruangan itu. Ia di dudukkan di sebuah kursi. Ikatan kaki dan tangannya di lepas, tetapi selanjutnya ia bisa merasakan kalau tangan dan kakinya di ikat dengan kursi. Setelah itu, tidak terjadi apapun. Ia hanya mendengar suara pintu di tutup.


Seung Ri kembali ke kamar dengan membawa nampan yang di atasnya ada 2 gelas jus jeruk. Ia segera meletakkan nampan itu di atas meja di kamarnya dan menuju ke beranda. Ia berniat untuk memanggil Seung Hyo, tetapi ia heran, kenapa sama sekali tidak ada bayangan orang di luar?
Ia keluar dari kamar dan sekarang ia hanya menemukan keadaan beranda yang kosong. Ia merasa terkejut dan kembali ke kamar lalu segera berlari keluar kamar. Ia segera berlari ke ruangan kerja pamannya. Di dalam pikirannya sekarang, hilangnya Seung Hyo secara tiba-tiba pasti ada hubungannya dengan pamannya.
Ia melihat dua penjaga yang berdiri di depan pintu ruangan kerja pamannya meliriknya sinis, tetapi tidak di hiraukannya. Ia segera menerobos masuk, tetapi di tahan oleh kedua penjaga yang memiliki tubuh tinggi besar.
“Ada apa, anak muda?” Tanya salah satunya sinis.
“Aku ingin bertemu dengan pamanku.Permisi. Jangan halangi jalanku.” Jawab Seung Ri tanpa rasa takut sedikitpun.
“Kau berani dengan kami?” Tanya yang satunya lagi.
“Ajeussi, aku ada perlu dengannya. Ini penting. Permisi.” Seung Ri mendorong keduanya dan langsung masuk ke ruangan pamannya ketika keduanya lengah. Ia melihat pamannya sedang memerhatikan monitor salah satu ruangan. Seung Ri melihat seorang yeoja sedang duduk dengan tangan dan kaki terikat di kursi, sementara mata dan mulutnya di tutup oleh kain hitam. Pamannya menoleh mendengar suara pintu di tutup.
“Bagus. Kau sudah berani masuk ke ruanganku tanpa mengetuk terlebih dahulu, hah?!” Kata pamannya.
“Ajeussi, jebal, jangan kau apa-apakan dia.” Kata Seung Ri.
“Kau sama sekali tidak sopan!” Pamannya menghampiri Seung Ri yang berdiri tegak dalam diam.
“Kali ini kau kumaafkan, karena kau sudah membawa Seung Hyo kemari.” Kata pamannya. “Tapi, kau harus mendapat pelajaran karena kau sangat tidak sopan terhadapku.”
PLAK!
Seung Ri merasa pipinya panas. Belum sempat ia meringis kesakitan, pipinya di tampar lagi untuk kedua kalinya. Ia meraba pipinya dan segera menyesali perbuatannya itu ketika pipinya terasa perih.
“Sekarang, kau boleh keluar.” Kata pamannya. Seung Ri mengangkat kepalanya dan menatap pamannya itu.
“Ajeussi, untuk apa kau menculiknya?” Tanyanya memberanikan diri.
“Kau tidak perlu tahu.”
“Ajeussi, aku temannya… tolong beritahu tujuanmu, ajeussi…” Seung Ri hampir berlutut di depan pamannya. Pamannya melihat kesungguhan di mata Seung Ri dan akhirnya berkata, “Dia akan kami tahan sampai ayahnya mau mengalihkan perusahaannya padaku.”
“Ajeussi, sebenarnya untuk apa? Perusahaanmu sudah sangat sukses, untuk apa kau mengambil alih perusahaan lain?” Tanya Seung Ri tidak habis pikir. Pamannya menaikkan alis, tetapi akhirnya menjawab, “Perusahaannya membuat perusahaanku perlahan-lahan menuju kehancuran, dan agar perusahaanku hal itu tidak terjadi, aku harus mengambil alih perusahaannya. Sekarang sudah jelas, kau bisa keluar.” Kata pamannya. Seung Ri mengangguk dan berbalik pergi.
Setelah Seung Ri menghilang dari balik pintu, Hyun Min mengalihkan pandangannya kembali ke monitor. Ia melihat Seung Hyo terlihat tenang, tanpa ada usaha untuk melepaskan diri. Ia melihat jam tangan yang ternyata sudah menunjukkan pukul 3 sore. Ia menelepon salah satu penjaganya yang di tugaskan untuk menjaga Seung Hyo. Setelah tersambung dan di angkat oleh penjaga itu, Ia langsung menyuruh agar penjaga itu membuka ikatan pada Seung Hyo. Penjaga itu mengiyakan dan Hyun Min berkata lagi bahwa ia akan segera ke sana. Setelah penjaga itu mengiyakan kembali, Hyun Min memutuskan sambungan.


Seung Hyo terus diam dan berusaha agar tenang. Bisa di rasakannya kain yang menutupi  matanya menjadi basah akibat air matanya. Ia sesenggukan menahan agar tangisnya tidak meledak-ledak. Di tengah kesedihan dan kepanikannya sekarang, ia teringat oleh umma dan appa-nya. Apa yang mereka lakukan sekarang? Apakah mereka akan khawatir dengannya?
Seung Ri. Kemana dia? Ini pasti masih di rumahnya. Sebenarnya siapa yang menculiknya? Apakah Seung Ri? Benarkah Seung Ri sejahat itu? Tapi untuk apa dia melakukannya? Seung Hyo menggelengkan kepalanya, berusaha melupakan pikiran buruk itu. Seung Ri tidak mungkin berbuat seperti itu.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang semakin mendekatinya. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika langkah orang itu terhenti di dekatnya. Ia bisa mendengar suara orang menghela nafas di dekatnya. Ia hanya diam. Tiba-tiba kain yang menutupi matanya di buka. Butuh waktu beberapa detik sampai ia bisa melihat siapa yang membuka kainnya. Bukan Seung Ri. Sepertinya penjaga di sini, batinnya.
Selanjutnya, penjaga itu membuka ikatan di mulutnya, tangan, dan kemudian kaki. Sekarang ia merasa bebas. Ingin ia berlari keluar saat itu, tetapi melihat ada seorang penjaga lagi sedang berdiri di depan pintu, ia mengurungkan niatnya itu.
“Nona, kau tunggu di sini. Sebentar lagi, Hyun Min-ssi akan datang.” Kata penjaga itu. Seung Hyo hanya diam. Hyun Min? Siapa dia?
Penjaga itu lalu meninggalkan Seung Hyo seorang diri di ruangan itu. Seung Hyo duduk kembali di kursinya setelah mendengar suara pintu yang di kunci dari luar. Ia memerhatikan sekeliling ruangan dengan bingung. Dalam ruangan yang cukup luas itu, hanya ada sebuah kursi yang di dudukinya sekarang.
Tiba-tiba pintu terbuka lagi. Ia menoleh karena terkejut. Setelah itu ia melihat seorang dengan perawakan tinggi besar yang di vonisnya berumur 30 tahun. Orang itu mengunci pintu dan menghampiri Seung Hyo yang duduk di kursi.
“Annyeong, Seung Hyo.” Kata orang itu. Seung Hyo hanya diam. Orang itu memberikan tas selempang yang di kenalinya sebagai miliknya. Tanpa berkata apapun, ia segera merampas benda itu dari orang itu.
“Siapa kau?” Tanyanya setelah itu.
“Aku Lee Hyun Min. Paman Seung Ri.” Orang itu memberikan tangannya untuk bersalaman, tetapi segera di tepis oleh Seung Hyo yang benar-benar terkejut.
“Apa maksudmu menculikku, Hyun Min-ssi?” Tanyanya sinis.
“Kau akan terus di sini, sampai ayahmu mau mengalihkan perusahaannya padaku. Dengan kata lain, kau kami tahan. Kita akan lihat nanti, ayahmu lebih sayang padamu, atau lebih sayang pada perusahaannya.” Kata Hyun Min sambil tersenyum sinis. Seung Hyo terdiam. Matanya tidak berhenti melihat ke arah Hyun Min yang sedang berjalan keluar. Sebelum ia menutup pintu, Seung Hyo mendengarnya berkata, “Jangan coba-coba kabur, kalau kau tidak ingin bertemu kematian.” Katanya dengan nada mengancam. Seung Hyo membeku mendengar kata-kata tersebut. Setelah itu, pintu di tutup kembali.


Seung Hyo melihat ke dalam tasnya. Ada ponselnya, dan ia segera mengambilnya. Ponselnya dalam keadaan mati, padahal sebelumnya ia tidak ada mematikan ponselnya. Ia mencoba menyalakannya, tetapi tetap tidak bisa. Ia membuka bagian belakangnya, dan benar saja. Seperti yang di duganya, Hyun Min sudah melepas kartu beserta baterai ponsel tersebut.
Ia melihat ke arah jendela dan berjalan mendekatinya. Ia berniat keluar melalui jendela itu, tetapi ketika di lihatnya ke luar, bisa di lihatnya seorang penjaga berjaga tidak jauh darinya. Lagipula, ia sedang berada di lantai dua. Keadaan sudah gelap di luar. Ia hanya bisa pasrah dan berharap pada keputusan appa-nya.


Seung Ri duduk dalam diam di beranda kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tetapi ia belum juga mendapat cara bagaimana agar ia bisa membebaskan Seung Hyo dan membawanya pergi dari rumah ini. Tentu saja tanpa sepengetahuan pamannya.
Tapi hal itu susah sekali. Penjagaan sangat ketat di mana-mana. Di depan ruangan tempat Seung Hyo di sekap di jaga oleh dua penjaga dan di dalamnya ia tahu ada CCTV yang di sambungkan dengan monitor di ruangan pamannya.
Ponselnya berbunyi, dan ia bergetar ketika mengetahui siapa yang meneleponnya. Umma Seung Hyo. Tidak. Apa yang harus di katakannya? Akhirnya ia pun hanya diam membiarkan ponsel itu berdering berkali-kali. Setelah ponsel itu berhenti berdering, ia masuk kembali ke kamarnya dan mulai mengobrak-abrik kamarnya. Ia berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk menolong Seung Hyo. Tiba-tiba ia menemukan tali tambang sepanjang kira-kira 5 meter. Dia sendiri heran kenapa benda seperti itu ada di kamarnya, tapi ia punya ide dengan tali tambang tersebut. *bagian ini maksa banget dah*
Ia berjalan keluar kamarnya mengendap-ngendap. Ia bersyukur karena kamarnya tidak di kawal oleh penjaga dan di sekitar kamarnya juga tidak ada kamera pengawas. Ia menyembunyikan tali tambang tersebut di balik bajunya yang ukurannya jauh lebih besar daripada badannya. Ketika menyadari bahwa di tempat yang di lewatinya terdapat CCTV, ia segera mengubah cara jalannya seperti biasa. Ia akhirnya sampai di luar rumah dan bisa bernafas lega.
Ia berjalan mengelilingi rumah sambil kepalanya menengok ke atas, untuk menemukan ruangan tempat Seung Hyo di sekap. Dia sudah tinggal kurang lebih 10 tahun di rumah itu, dan ia mengenal dengan baik letak-letak rumah itu. Ketika ia merasa sudah menemukan ruangan itu, ia mengeluarkan tali tambang dari balik bajunya.
“Seung Ri-ssi, apa yang sedang kau lakukan?” Suara seseorang mengejutkannya hingga tali tambang itu nyaris saja keluar dari balik bajunya kalau ia tidak menahannya.
“Mmm… tadi siang aku menjatuhkan sesuatu, dan aku sedang berusaha mencarinya.” Kata Seung Ri.
“Perlu bantuan?” Tanya orang itu.
“Tidak, terima kasih.” Kata Seung Ri. Orang itu memperhatikan Seung Ri dengan tatapan aneh, tetapi kemudian berbalik meninggalkan Seung Ri. Seung Ri terus memperhatikan hingga orang itu benar-benar menghilang dari pandangan. Ketika orang itu sudah benar-benar hilang, ia melihat sekeliling dan memastikan benar-benar tidak ada orang. Ketika merasa tidak ada seorangpun selain dirinya, ia segera mengeluarkan tali tambang tersebut dan melemparkannya sekuat tenaga hingga pengaitnya mengait dengan sempurna di jendela tersebut. Setelah itu, ia naik ke jendela itu melalui tali tambang yang sudah di kaitkan.
Ia mengetuk jendela tersebut hingga akhirnya Seung Hyo yang berada di dalam menoleh. Seung Hyo segera menghampirinya. Seung Ri mengisyaratkan agar Seung Hyo membuka jendela tersebut. Seung Hyo langsung membuka jendela tersebut.
“Jagiya, cepat.” Kata Seung Ri melihat Seung Hyo yang bengong.
“Ke mana?” Tanyanya bingung.
“Kita harus pergi dari sini.” Seung Ri mulai menarik tangan Seung Hyo dengan tidak sabar. Akhirnya Seung Ri turun duluan, setelah itu Seung Hyo turun melalui tali tersebut.


Hyun Min yang berada di ruang kerja terkejut melihat kejadian yang berlangsung begitu saja dari monitor. Ia segera menelepon pengawas yang berada di sekitarnya. Ia bersumpah akan membunuh pengawas yang lalai dari tugasnya tersebut.
Di ruangan lain, tepatnya di ruangan tempat semua monitor di sambungkan dengan CCTV di seluruh penjuru ruangan rumah itu, para pengawas terkejut bukan main dan segera menyalakan sirene. Di sisi lainnya lagi, para penjaga di seluruh rumah itu segera menuju ke depan rumah untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Sementara di samping rumah—tepat di bawah jendela dari ruangan tempat Seung Hyo di sekap—Seung Hyo masih diam kebingungan dengan perintah Seung Ri. Seung Ri mengguncang-guncang pundak Seung Hyo dan berteriak panik.
“Jagii, cepat pergi!” Paksa Seung Ri.
“Lalu…kau?”
“PERGI!” Suara Seung Ri berubah tinggi dan terdengar sangat marah. “INI DEMI KESELAMATANMU!” Teriaknya lagi. Seung Hyo terkejut bukan main, tapi akhirnya berbalik dan berlari meninggalkan Seung Ri. Ketika ia berlari, tiba-tiba ia mendengar erangan Seung Ri. Ia segera menoleh dan melihat Seung Ri sudah terbaring lemas di atas rerumputan.
“SEUNG HYO, LARI!” Teriakan Seung Ri masih terdengar. Ia sama sekali tidak menghiraukan teriakan Seung Ri. Ia malah langsung berbalik dan berlari mendatangi Seung Ri.
Jaraknya tinggal 2 meter lagi dengan Seung Ri, tapi tiba-tiba tangannya di tarik dan langsung di silangkan. Tangannya di ikat dan mulutnya langsung di tutup dengan plester. Air matanya jatuh ketika melihat beberapa penjaga datang mendatangi Seung Ri. Ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha memberontak, tetapi orang yang mengikatnya itu malah menamparnya sangat keras, hingga akhirnya ia kehilangan kesadarannya.


Seung Hyo berusaha membuka matanya yang terasa berat sekali. Pandangannya buram ketika ia berhasil membuka mata.
“Sudah bangun, Seung Hyo?” Suara berat seseorang mengejutkannya. Matanya membuka dan menutup agar bisa melihat dengan jelas sekelilingnya. Ia menoleh ke sumber suara ketika matanya sudah berhasil melihat sekelilingnya dengan jelas, dan menemukan Hyun Min sedang berdiri menatapnya sinis. Seung Hyo mengalihkan pandangannya ke lain lagi. Kali ini ia bisa melihat kalau di ruangan itu hanya ada ventilasi dan sebuah pintu kecil, tanpa ada jendela.
“Apa yang kau cari? Jendela? Hah?” Suara Hyun Min mengejutkannya. Hyun Min mendekatinya, dan tanpa di sangkanya, Hyun Min menarik plester yang menutup mulut Seung Hyo dengan cepat. Seung Hyo meringis pelan.
“Apa yang kau lakukan semalam?” Tanya Hyun Min. Seung Hyo hanya diam.
“Kau tidak mau menjawabnya? Baiklah, aku akan membuatmu mau menjawabnya.” Hyun Min mengambil sesuatu dari saku celananya. Setelah itu ia mengeluarkan benda itu dari sakunya. Seung Hyo mengerutkan kening ketika melihat benda itu adalah remote. Untuk apa remote? Di sini tidak ada televisi ataupun semacamnya.
Tapi ia salah. Hyun Min mengarahkan remote itu ke atas plafon dan menekan sebuah tombol. Tanpa di sangkanya, plafon itu bergerak ke bawah dan memunculkan sebuah televisi. Ia hanya diam sampai Hyun Min menyalakan televisi itu.
“Lihatlah.” Kata Hyun Min singkat.
Dari televisi itu Seung Hyo melihat seorang namja di hantam berkali-kali oleh beberapa orang. Ia tidak mengenali sosok itu karena wajahnya sudah tidak jelas lagi bentuknya akibat berkali-kali di pukul.
“Itu Seung Ri.” Suara Hyun Min membuatnya lemas di tempat. Seung Ri? Air matanya jatuh seketika itu juga.
“TIDAAAAK!” Seung Hyo berteriak histeris. “Hentikan! Jangan lakukan itu padanya! Kumohon… hentikan…” Hyun Min segera mematikan televisi itu. Seung Hyo menangis tanpa henti di kursinya. Sementara itu, Hyun Min segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
“Yun Ho-ssi,” Ucapnya. Seung Hyo berhenti menangis dan terkejut mendengar nama itu di sebut. Itu nama appa-nya.
“Anakmu, Seung Hyo, ada bersamaku. Kalau kau ingin dia kembali tanpa cacat sedikitpun…” Hyun Min menggantungkan kalimatnya, kemudian melanjutkan, “Kau harus mengalihkan perusahaanmu padaku.” Kata Hyun Min. Setelah itu Hyun Min diam mendengarkan lawan bicaranya.
“Baiklah, aku akan menunggumu di sana.” Hyun Min menutup flap ponselnya dan menoleh ke arah Seung Hyo.
“Appa-mu,” Kata Hyun Min. “Sepertinya, kau akan berakhir di tangan kami.” Kata Hyun Min lalu berbalik pergi meninggalkan Seung Hyo. Seung Hyo hanya bisa menangis. Tapi tiba-tiba Hyun Min kembali lagi dengan membawa seorang bawahannya.
“Lepaskan ikatannya.” Kata Hyun Min singkat yang langsung di tanggapi dengan anggukan tegas oleh bawahannya tersebut. Setelah ikatannya terlepas, Hyun Min memberi kode kepada bawahannya untuk membawa Seung Hyo mengikutinya.


Kata orang, jika kematian sudah dekat dengan kita, maka semua kejadian-kejadian yang pernah di alaminya akan terbayang begitu saja, seperti potongan-potongan film.
Seung Ri tidak bisa melawan pukulan-pukulan yang dari tadi terus menghunjaminya tanpa berhenti sedikitpun. Ketika satu orang berhenti memukulnya, tanpa memberi kesempatan pada Seung Ri, satu orang lainnya memukulnya lagi.
Dia ingat umma dan appa-nya. Sebentar lagi ia akan menyusul umma dan appa-nya. Hanya itu yang terbayang dari tadi. Tapi sebuah pukulan menghantam tepat di perutnya, dan darah keluar lagi dari mulutnya. Ia teringat Seung Hyo. Ia berharap pamannya tidak berbuat apapun pada Seung Hyo. Ia rela mati sekarang, asalkan orang tersayangnya tidak celaka.
Pukulan-pukulan itu berhenti ketika pintu terbuka dan wajah seseorang muncul. Seung Ri tidak bisa melihat jelas karena matanya sudah berkunang-kunang.
“Kalian semua, pergi tinggalkan ruangan ini.” Kata orang itu. Seung Ri mengenali pemilik suara itu. Itu suara pamannya. Orang-orang yang memukulinya tadi mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan itu dengan patuh.
“Ya, Hyuk Jae, tinggalkan dia di sini.” Kata pamannya lagi. Seseorang masuk ke dalam ruangannya dengan menyeret seseorang.
“Seung Ri!” Teriak orang yang di seret itu. Ia terkejut. Ia ingin menangis mendengar suara itu. Itu suara Seung Hyo. Orang tadi menyeret Seung Hyo lalu mendudukkannya di samping Seung Ri yang sudah terbaring lemas tidak berdaya. Setelah itu pamannya dan orang tadi pergi meninggalkan mereka begitu saja. Pintu di kunci dari luar.
Seung Hyo menatap wajah Seung Ri yang sudah tidak jelas lagi bentuknya akibat sudah di hantam berkali-kali. Ia menangis dan membelai pipi Seung Ri pelan.
“Jagii…” Gumamnya dengan suara serak dan bergetar. Tangan Seung Ri bergerak pelan. Tangannya bergetar dan akhirnya, setelah bersusah payah, ia bisa memegang tangan Seung Hyo.
“Jagii…ja..jangan…me..mena..ngis…” Kata Seung Ri dengan susah payah. Ia meringis, berusaha menahan rasa sakit di perutnya.
“Jangan tinggalkan aku… Jagii, bertahanlah…” Kata Seung Hyo. Seung Ri menaikkan ujung bibirnya. Seung Hyo bisa melihat, Seung Ri tersenyum kepadanya.
“Jagii…a-aku…akan…me..nyu…sul…umma…dan…appa…” Kata Seung Ri lagi yang membuat Seung Hyo semakin berteriak histeris. Seung Ri menggerakkan tangannya ke kepala Seung Hyo. Ia mengelus kepala Seung Hyo dengan lembut.


Sementara itu, Hyun Min beserta bawahannya, Hyuk Jae, tetap berdiam di mobil. Mereka sudah memarkir mobil di jembatan. Mereka berjanji akan bertemu dengan Yun Ho, yang tidak lain adalah ayahnya Seung Hyo.
Dari kejauhan, Hyun Min melihat cahaya lampu mobil yang semakin lama semakin mendekat, lalu kemudian berhenti di depan mobilnya. Ia langsung menyuruh Hyuk Jae untuk turun dan mengambil barang yang sudah di janjikan dengan Yun Ho tadi.
Yun Ho tidak mau mengalihkan perusahaannya kepadanya. Ia sama sekali tidak mau. Tetapi ketika mendengar anaknya sudah berada di tangan rekannya itu, ia di buat bingung lagi oleh dua pilihan. Akhirnya ia memutuskan akan memberikan uang kepada rekannya itu. Baginya, itu bukan masalah karena ia termasuk salah satu dari beberapa pengusaha sukses.
Dan tentu saja, Hyun Min tidak terima dengan perbuatan itu. Ia akhirnya mengiyakan permintaan Yun Ho, tetapi ia tetap menahan anaknya. Di telepon tadi, ia berkata akan membawa anaknya, tetapi itu hanya bohong belaka.
Hyuk Jae kembali dengan membawa tas. “Hyun Min-ssi, dia menanyakan keadaan anaknya.” Katanya sambil memberikan tas itu kepada Hyun Min.
“Tidak usah di dengarkan. Cepat naik.” Kata Hyun Min. Tanpa membantah sedikitpun, Hyuk Jae segera naik ke mobil.
“Kita pergi dari sini. Frans, naikkan kecepatannya.” Kata Hyun Min. Seketika, Frans, sopirnya melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Sementara Yun Ho terkejut bukan main ketika mobil Hyun Min malah pergi meninggalkannya. Ia segera masuk ke mobil dan mempercepat laju mobilnya agar bisa menyejajari mobil Hyun Min. Tapi walaupun ia sudah menambah kecepatannya, ia merasa mobil Hyun Min malah semakin jauh, dan akhirnya menghilang. Ia kehilangan jejak. Ia menelepon Hyun Min, tapi sama sekali tidak di jawab. Akhirnya ia tidak bisa berbuat apa-apa.


Seung Hyo terbangun ketika ia merasa tangan yang mendekapnya sejak semalam terjatuh. Ia menegakkan tubuhnya, dan melihat Seung Ri yang wajahnya sudah tenang. Ia merasa lega melihat itu, dan mengelus tangan Seung Ri pelan. Tapi betapa terkejutnya ia, tangan Seung Ri dingin.
“Jagii?”
Pikiran Seung Hyo mulai menjalar ke mana-mana. Ia menepuk-nepuk pipi Seung Ri pelan, tapi Seung Ri tidak bangun juga. Ia menepuknya lebih kuat, tapi reaksi Seung Ri tetap sama. Ia memberanikan diri untuk meletakkan jarinya ke dekat hidung Seung Ri. Air matanya tiba-tiba menetes ketika setelah hampir satu menit ia tidak merasakan nafas Seung Ri.
“Jagii… jangan tinggalkan aku…” Tangis Seung Hyo semakin menjadi-jadi. Seung Ri sudah tidak ada lagi.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan ia melihat sosok itu semakin mendekatinya. Ia terkejut dan refleks mundur.
“Jangan… jangan dekati aku…” Seung Hyo menggigil ketakutan ketika orang itu mengeluarkan pisau dari balik badannya. Orang itu mengacungkannya tepat di depan wajah Seung Hyo menemukan mata pisau tersebut dengan pipi Seung Hyo.
“Gadis manis, ucapkan selamat tinggal…” Ucap orang itu. Bibir Seung Hyo bergetar-getar ingin mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokannya seolah di halangi oleh sesuatu dan membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara.
Sebuah tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipinya hingga membuatnya yang terduduk menjadi terbaring dengan posisi menayamping. Orang tadi lalu berdiri dan mengacungkan pisau di tangannya tinggi-tinggi. Seung Hyo menutup matanya, tidak ingin melihat kejadian selanjutnya.
5 detik kemudian, ia bisa mendengar teriakannya sendiri saat tiba-tiba ia merasakan rasa sakit luar biasa di lehernya. Ia membuka mata, kemudian mengangkat tangannya untuk menyentuh sumber rasa sakit itu.
Ketika di jauhkannya tangannya dari leher, ia bisa melihat cairan warna merah pekat sudah melumuri tangannya. Bau khas darah dengan cepat tercium olehnya. Dengan susah payah ia melihat ke atas, ke arah orang itu. Sekarang ia sedang tersenyum puas.
“Hyun Min… kau…”
“Inilah nasibmu, gadis manis. Yun Ho tidak memperdulikanmu, kau lihat kan? Dia bahkan tidak berusaha mencarimu. Inilah akhir hidupmu.”
Appa tidak mungkin seperti itu, aku tahu benar bagaimana sifat appa.


Perlahan-lahan Seung Hyo menutup matanya, sampai akhirnya kedua matanya menutup dengan sempurna. Hyun Min melihat secercah senyuman muncul dari bibir Seung Hyo setelah Seung Hyo menutup kedua matanya.
“Bodoh! Apa yang kau tertawakan?!” Teriak Hyun Min gusar ketika melihat senyuman itu.
“Appa… tidak akan… tinggal diam…” Gumam Seung Hyo pelan.
“Diam kau! Mati saja sana!” Hyun Min mengacungkan pisaunya lagi, lalu kemudian menusukkannya, tepat di perut Seung Hyo. Di tariknya kembali pisau tersebut, lalu kemudian di tusukkannya lagi, hingga entah berapa kali sudah di lakukannya. Ketika ia sadar seluruh bajunya sudah berlumuran darah, ia tersenyum puas melihat Seung Hyo tergolek tidak berdaya, tidak lagi bernyawa.

Ia kemudian membuang pisau itu jauh-jauh, lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan senyum puas.

THE END


0

FF/ONESHOOT/I NEED A GIRL/PG13

Posted by Dindin on 06.16 in ,



“Bisa?”
“Ya, tentu saja. Dimana?”
“Di tempat biasa. Bagaimana?”
“Baiklah. Sampai nanti.”
Aku memutuskan sambungan lalu menutup flap ponselku. Kuletakkan ponselku dimeja, lalu melipat tanganku di atas meja. Berbingkai jendela berwarna coklat itu, terlihatlah langit sore dengan awan yang tidak beraturan bentuk dan letaknya, tetapi entah kenapa terlihat begitu indah. Cahaya matahari sore berusaha menyusup melalui awan-awan besar itu, yang kemudian nampak bagai aurora.
Kubuka jendela tersebut dan menyadari bahwa udara tidak lagi sedingin kemarin. Musim semi sudah semakin dekat, dan aku selalu mengharapkan ada keajaiban yang membuat musim semi datang lebih cepat. Yah, tapi bukan berarti aku membenci musim dingin.
Aku beranjak dari dudukku, lalu menuju ke kamar mandi. Ya, aku harus bersiap karena aku harus memenuhi janji untuk bertemu dengannya malam ini.

Sambil berjalan memasuki café itu, aku menurunkan tutup kepala jaketku dan merapatkan jaketku. Aku melihat sekeliling, dan menemukan meja kosong di dekat pagar pembatas. Aku segera melangkahkan kakiku menuju meja itu.
“Dong Young Bae-ssi?” Seorang pelayan menghampiriku saat aku baru saja duduk di kursi. Lantas ia memanggilku.
“Ya. Ada apa?” Tanyaku.
“Nona Soo Young menitip pesan untukmu.” Pelayan itu tersenyum ramah padaku. “Dia berkata kemungkinan ia datang terlambat. Ia menyuruhmu untuk tetap menunggunya.”
“Oh, begitu. Ya, terima kasih.” Pelayan itu tersenyum, lalu berbalik pergi meninggalkanku.
Kenapa ia tidak langsung memberitahuku melalui telepon? Bukankah cara itu lebih mudah? Atau mungkin sebelumnya ia kesini dan mempersiapkan segalanya untukku? Ah, tidak mungkin.
Suara klakson mobil membuyarkan pikiranku. Aku menoleh dan melihat Soo Young turun dari mobil. Mobil? Sejak kapan dia di antar? Biasanya, ia selalu berangkat sendiri. Apa dia punya supir baru?
“Annyeong, Young Bae-ssi.” Sapanya setelah duduk di depanku. Young Bae-ssi, katanya?
“Kenapa kau memanggilku seperti itu?” Tanyaku langsung. Ia menatapku lama, kemudian berkata, “Ah. Kau sudah memesan sesuatu?”
“Belum. Aku menunggumu.” Kataku. Perasaanku saja atau… ia memang berubah?
“Kupesankan, ya? Coklat panas, kan?” Tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Mungkin hanya perasaanku saja kalau ia berubah. Ia melambaikan tangannya dan tidak lama kemudian seorang pelayan datang menghampirinya.
“Jagii, kau diantar siapa tadi?” Tanyaku saat ia sudah selesai memesan dan pelayan sudah pergi.
“Itu? Teman kuliahku.” Katanya tanpa menatapku. Ia mengambil tasnya dan mengobrak-abrik isinya. Tidak lama kemudian ia mengeluarkan ponselnya.
“Siapa? Min Hye?”
“Bukan.” Jawabnya sambil tetap konsentrasi dengan ponselnya. Aku ingin bertanya lagi, tapi minuman yang di pesan sudah datang. Soo Young memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu mengaduk cappuccino hangatnya. Entah kenapa, ia sudah berubah. Benar, ia sudah berubah. Sejak kapan dia jadi sedingin ini? Apa udara yang dingin membuat sikapnya jadi dingin juga?
“Young Bae-ssi.” Mendengar suara Soo Young, aku langsung mengangkat wajahku. Kulihat wajahnya begitu gelisah. Aku berusaha tidak menghiraukan embel-embel ‘ssi’ yang dipakainya untuk memanggilku, tapi hal itu tetap saja memenuhi pikiranku.
“Ada apa?”
“Aku minta maaf sebelumnya. Untuk semuanya.”
“Minta maaf? Kenapa?”
“Aku mau kita mengakhiri hubungan kita hari ini. Maafkan aku.” Ia menunduk dan mengaduk cappuccinonya. Apa katanya? Akhiri? Tapi… kenapa?
“Sebenarnya… akhir-akhir ini… aku menyukai orang lain. Dan aku merasa, kalau kita meneruskan hubungan ini, berarti aku membohongimu dengan perasaanku. Aku tidak ingin seperti itu. Kurasa ini jalan terbaik.” Lanjutnya.
Aku terdiam dan berusaha memahaminya. Aku mengerti. Ini artinya, dia bukan untukku. Aku setuju dengan pernyataannya. Aku menghargai pendapatnya. Benar, ini yang terbaik untukku. Dan, dia juga.
Perlahan kugenggam tangannya, yang kemudian membuatnya mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk. Pelan-pelan, aku menarik tangannya. Kami pun berjalan keluar café.
“Aku mengerti. Untuk terakhir kali, Soo Young-ah, maukah kau mengabulkan permintaanku?” Tanyaku. Ia menatapku lama, lalu akhirnya mengangguk.
“Izinkan aku menciummu dan memelukmu untuk terakhir kalinya.” Kataku sambil mendekatkan bibirku ke bibirnya. Ia tidak menolak, dan aku menciumnya lembut. Entah untuk berapa lama, baru kemudian aku melepasnya. Aku memeluknya erat, dan perlahan aku merasakan tangannya juga melingkar di badanku.
“Maafkan aku, Young Bae-ah.” Ucapnya lembut. Aku mengangguk, lalu berkata, “Tidak apa-apa. Aku mengerti kalau ini yang terbaik.”

Tired of being alone, Sick of being single
I Think I need me a girl, I need a girl like…

Sudah 2 bulan berlalu sejak hubunganku dan Soo Young sebagai sepasang kekasih berakhir. Sampai saat ini pun, hubunganku dengannya tetap berjalan dengan baik. Dia selalu terlihat bahagia ketika berjalan dengan kekasih barunya itu—yang aku lupa namanya. Yang jelas, aku merasa iri dengan kekasihnya itu. Aku iri dengannya yang bisa mendapatkan Soo Young, dan juga bisa membuat Soo Young menemukan kebahagiaannya.
Melihat mereka begitu akrab dan bahagia, terkadang membuatku merasa muak dengan diriku sendiri. Entahlah, mungkin aku muak dengan diriku yang tidak berusaha mencari penggantinya. Tidak hanya itu, aku juga merasa lelah untuk terus sendiri tanpa seorang yang menemaniku saat aku kesepian.
Benar juga. Aku harus mencari penggantinya. Ya, aku membutuhkan seorang perempuan untuk mendampingiku.


One that speaks without thinking
Not a little child, but one that will embrace me
Not a girl that plays around sometimes when she’s bored
But one that will only love me

Siang itu, aku masih duduk menikmati hangatnya udara pagi bersama Ji Yong di sebuah taman di depan kampus. Tiba-tiba, 5 orang yeoja datang dan duduk tepat di kursi yang ada di belakangku. Sepertinya pembicaraan mereka seru sekali, karena mereka datang dengan heboh.
Seorang yeoja menarik perhatianku. Rambutnya yang kira-kira panjang sebahu di urai begitu saja. Ia mengenakan hoodie abu-abu dengan celana jeans sebagai bawahannya. Sesaat pandangan kami bertemu. Ia tersenyum padaku, dan aku pun membalas senyumannya. Dia terlihat begitu cantik dan sepertinya yang paling muda dari teman-temannya. Kemungkinan umurnya dua tahun lebih muda dariku.
“Hoi!” Teriakan Ji Yong mengejutkanku.
“Apa, sih?!” Tanyaku kesal sambil setengah berbisik. Ia melihatku dengan heran. Kenapa lagi?
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” Tanyanya. Belum sempat aku mau menjawab, ia sudah berkata lagi, “Tidak ada yang memperhatikan atau pun menguping pembicaraan kita, kenapa kau berbisik seperti itu?”
Ah. Iya juga, ya. Kenapa aku jadi salah tingkah begini, sih?
“Bukan urusanmu.” Kataku. Ji Yong malah tertawa. “Kenapa tertawa?” Tanyaku lalu meminum minumanku. Diam-diam aku memperhatikan yeoja itu lagi, lalu aku mengalihkan pandanganku ke Ji Yong. Ah! Ternyata dia berbalik untuk melihat yeoja itu. Tidak lama kemudian ia berbalik ke arahku.
“Aku tahu. Kau memperhatikan mereka, ya? Yang mana?” Tanya Ji Yong dengan senyum nakal. Aku memutar mataku dengan kesal, lalu berkata, “Kau mengikuti arah pandanganku, ya?”
Ji Yong tiba-tiba menepuk telapak tangannya lalu menunjukku. “Benar kan dugaanku!”
Ternyata dia hanya menduga? Ah, bodoh kau Young Bae. Kau sungguh bodoh. Kenapa kau bertanya seperti itu?
“Kukatakan padamu, ya. Mereka semua itu senior kita, satu tahun lebih tua dari kita.” Kata Ji Yong.
Oh. Kupikir dia yang paling muda, tapi ternyata mereka semua seumuran. Tapi… apa Ji Yong berbohong? Dia terlihat paling muda di antara semuanya!
“Kau tidak percaya?” Sepertinya Ji Yong melihat wajahku yang tidak percaya.
“Yang mana, Young Bae-ah?” Tanyanya. Aku menggetok kepalanya.
“Apa, sih?” Tanyaku kesal.
“Kau suka yang mana di antara mereka?” Tanya Ji Yong lagi. Dan aku menggetok kepalanya, lagi.
“Hei, aku serius. Tidak apa-apa. Aku tidak mungkin merebut mereka darimu karena aku sudah punya kekasih.” TOK! Aku menggetok kepalanya lagi, dan kali ini di sertai pukulan di pundaknya.
Tapi akhirnya kutunjuk juga secara diam-diam yeoja itu. Ji Yong mengangguk lalu berkata, “Namanya Kim Ji Hye. Umurnya, seperti yang kubilang tadi, setahun lebih tua dari kita.” Katanya, dan tiba-tiba melanjutkannya dengan setengah berbisik, “Kalau kau menyukainya, sainganmu berat, kau tahu.”
“Kau menyukainya?”
“Tidak. Aku ini tetap setia pada kekasihku. Tapi, yang menyukainya itu banyak sekali.”
“Dia sudah punya kekasih?”
“Kudengar, sih, belum.”
Belum kan? Baiklah, ini kesempatanku!
“Aku tahu yang kau pikirkan. Kau pasti menyerah duluan.”
“Hei, aku tidak serapuh itu.” Aku menggetok kepalanya lagi—entah untuk keberapa kalinya. Kemudian aku melanjutkan dengan setengah berbisik. “Aku akan mendapatkannya, lihat saja.”


Even if she stays still and guys hand her their phone
That kind of girl that will proudly take out and show my picture

Dalam perjalanan kembali ke kampus, aku melihat dia berjalan sendiri. Ini kesempatanku. Aku menepuk pundak Ji Yong, lalu berlari meninggalkannya yang berteriak memanggilku—yah, tapi tidak kuhiraukan juga. Paling-paling dia hanya bertanya aku mau kemana.
“Kim Ji Hye!” Panggilku. Yeoja itu menoleh. Aku mempercepat lariku.
“Ya?”
“Ah. Dong Young Bae imnida.” Aku mengulurkan tanganku. Ia membalasnya.
“Kau tahu namaku.” Katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk.
“Maaf, apa kau sibuk?” Tanyaku. Ia melihat jam tangannya, lalu tiba-tiba terkejut.
“Ah, Young Bae-ssi. Maafkan aku, tapi aku harus segera ke kelas, jam kuliahku sudah mau dimulai.”
“Bagaimana kalau kuantar?”
“Tidak. Tidak perlu. Kita bertemu lagi saja nanti selesai jam kuliah. Bagaimana?” Dia mengusulkan.
“Baiklah. Di sini?”
“Ya.” Dia mengangguk. “Aku pergi dulu, Young Bae-ssi. Annyeong.” Dia melambaikan tangannya kepadaku, dan aku membalasnya. Setelah itu, ia pergi meninggalkanku. Aku pun berjalan menuju kelasku.
Dari jauh, aku melihatnya berjalan terburu-buru menuju ke kelas. Baru saja dia ingin masuk, aku melihat seorang lelaki datang dan menyodorkan ponselnya. Ji Hye tidak terlihat gelisah, tapi ia tersenyum lalu kemudian mendorong pelan ponsel yang di berikan lelaki itu.

“Hei!” Suara seseorang yang kukenali sebagai Ji Yong terdengar di sertai pukulan pelan di pundakku. Aku menoleh.
“Beraninya kau langsung memanggil namanya. Sudah kubilang dia itu senior kita.” Kata Ji Yong. Aku hanya tertawa menanggapi kata-katanya.
Aku menoleh kembali ke arah kelasnya, tapi dia sudah tidak ada.


A kind of girl that looks better in jeans than a skirt
A girl that will eat the kimchi fried rice that I make instead
A girl who looks young even though she’s old
I like that kind of girl

Sesuai janji, kami bertemu lagi di depan gerbang kampus. Saat aku ke sana, dia sudah berdiri santai sambil menyandar di tembok gerbang kampus. Saat melihatku, ia tersenyum lalu melambaikan tangan. Aku menghampirinya sambil terus memberikan senyuman terindahku.
“Sudah lama?” Tanyaku.
“Tidak juga.” Ia berjalan keluar kampus. Aku mempercepat langkahku agar bisa menyejajarinya.
Kami berjalan menyusuri trotoar. Sepanjang perjalanan, aku membujuknya agar ia mau ke rumahku. Awalnya ia menolak dengan halus, tapi setelah kupaksa, akhirnya ia mau juga. Dilihat dari wajahnya, aku tahu ia curiga padaku.
Untungnya dia tidak menolak ketika kuajak untuk pulang dengan bus. Dia bercerita kalau dia lebih senang pulang dengan bus, daripada naik taksi. Dan mengalirlah cerita kami seputar hobi, kebiasaan, dan lain sebagainya. Dia terlihat sedikit pemalu, tapi ia bisa cepat beradaptasi denganku yang baru dikenalnya. Ya, mungkin ini yang membuatnya di sukai banyak orang. Tapi lihat saja, aku akan mendapatkannya.
Bus berhenti di halte tujuan kami 20 menit kemudian. Kami pun turun, dan berjalan menuju flatku yang letaknya tidak begitu jauh dari halte ini. Dia sama sekali tidak mengeluh. Bahkan, ia tidak bosan bercerita tentang kehidupannya, tentang dia yang seringkali muak setiap ada lelaki yang memberikan ponselnya agar ia memberi nomor teleponnya. Ha.. ha.. padahal mungkin saja aku termasuk salah satu lelaki itu.
Aku membuka pintu flatku dan mempersilahkannya masuk. Dia tersenyum, lalu masuk ke dalam flatku dan langsung duduk di sofa yang ada di depan televisi.
“Nyalakan saja televisinya, aku mau ke dapur sebentar.”
“Apa yang kau lakukan di dapur? Duduklah bersamaku disini.” Ia menepuk tempat di sebelahnya dengan wajah kecewa. Aku tersenyum.
“Tunggu saja disini, Nuna.” Kataku sambil berjalan menuju dapur.
“Nuna, katamu? Kau lebih muda dariku?” Pertanyaannya membuat langkahku terhenti. Aku berbalik lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Jangan panggil aku Nuna. Panggil saja Ji Hye. Aku lebih senang di panggil begitu.”
“Ya, nuna.” BUK! Sebuah bantal sofa mengenaiku. Aku mengambilnya, lalu balik melemparnya. Kami tertawa.
Aku berjalan ke dapur dan langsung disibukkan dengan pekerjaanku. Aku akan membuat nasi goreng kimchi untuknya. Untukku juga, tentunya. Semoga ia belum makan siang.
Setengah jam kemudian, nasi goreng kimchi buatanku selesai. Aku membuat 2 gelas jus jeruk lemon dan kemudian membawanya ke depan televisi dengan nampan. Dia terkejut ketika melihatku membawa makanan.
“Untuk apa kau repot-repot?” Tanyanya merasa tidak nyaman.
“Tidak repot, kok. Kau tidak mau makan?” Tanyaku. Ia melirik nasi goreng kimchi dan juga jus jeruk lemon buatanku.
“Mau, sih. Aku lapar juga.” Katanya sambil tertawa pelan. Aku meletakkan nampan itu di atas sofa dan mengambil sepiring. Kuberikan padanya, lalu setelah ia mengambilnya, aku meletakkan nampan itu di atas lantai yang beralaskan karpet. Kuambil bagianku. Kulihat dia belum memakan makanannya.
“Kenapa tidak di makan?” Tanyaku.
“Kau makan lebih dahulu. Kau yang membuatnya.” Katanya sopan. Aku tersenyum lalu memakan makananku. Lalu kemudian ia menyuap makanannya.
“Bagaimana?” Tanyaku. Ia meletakkan piringnya di atas kedua pahanya yang di balut jeans hitam, lalu kemudian mengacungkan kedua jempolnya ke arahku.
“Enak! Kau pintar memasak, ya.” Katanya. Aku tertawa lalu mengangguk sambil berterimakasih.
“Terima kasih, Ji Hye Nuna.”
“Sudah kukatakan, cukup panggil aku Ji Hye. Anggap saja kita ini seumuran.” Aku tertawa sambil mengangguk.

A girl that acts shy, but knows how to be bold
Always pretend to careful of her behavior
But when you’re with her
Ya’ll know what I’m talking about


Looks are not an issue but
A cute girl who knows style
Even though our hobbies are different
Our tastes are the same

Sejak hari itu pun, hubunganku dengannya, Ji Hye, entah kenapa semakin dekat. Mungkin karena hobi? Tidak juga, kurasa. Tapi, aku merasa bersyukur dengan kedekatan ini. Dan yang lebih penting, perasaan sukaku padanya sudah melebihi saat pertama aku bertemu dengannya di taman saat itu.
Aku menoleh saat merasakan cubitan yang lumayan keras mendarat di lengan kananku. Kulepas headphone-ku dan kulihat Ji Hye dengan wajah cemberutnya.
“Kenapa?” Tanyaku sambil menahan tawa. Wajahnya terlihat lucu sekali saat cemberut seperti saat ini.
“Kau itu, sudah kupanggil entah berjuta kali, tapi kau tidak menoleh sama sekali!” Katanya kesal. Kenapa marah-marah, sih?
“Ya… kau tahu aku sedang memakai headphone. Wajar kalau aku tidak mendengarmu. Kenapa, sih?” Tanyaku.
Ia terdiam. Mungkin ia sedang berpikir bagaimana cara memberitahu sesuatu-yang-entah-apa-itu padaku. Aku pun hanya diam menunggunya bicara. Tapi, yang terjadi pada detik berikutnya adalah, dia memegang tanganku dan tiba-tiba menarikku.
“Hei, Ji Hye, kenapa?”
“Jalan-jalan saja. Ikut aku, ya?” Wajahnya terlihat memelas, membuatku tidak tega untuk menolaknya hanya dengan alasan aku lelah dan ingin istirahat di rumah saja. Akhirnya aku mengangguk.

A girl that I can relate to a lot
When we watch movies or listen to music
I love girl, girl I do adore

Ternyata, Ji Hye mengajakku untuk menonton film. Tanpa bertanya padaku apa yang ingin kutonton sekarang, ia langsung memesan tiket dan menarikku masuk ke dalam bioskop.
“Ji Hye, sebenarnya, kita mau nonton apa?” Tanyaku setelah kami duduk bersebelahan di dalam bioskop tersebut. Keadaan sudah ramai di dalam bioskop ini.
“Entahlah. Mari kita lihat tiketnya.” Katanya santai sambil memperhatikan tiket. Aku heran tapi ikut melihat tiket tersebut.
“Ini film horor, lho. Kau tidak takut?” Tanyaku. Ia menggeleng lalu berkata, “Tidak. Tenang saja, aku menikmati semua jenis film.”
Film tersebut selesai dua setengah jam kemudian. Selanjutnya, dia menarikku ke toko kaset. Dia berhenti menarikku tepat di depan kaset-kaset bergenre hip-hop.
“Ji Hye, kau suka musik bergenre ini?” Tanyaku sambil menunjuk kaset-kaset itu. Dia mengangguk.
“Kau bisa pilihkan yang bagus?” Tanyanya. Aku melihat kaset-kaset tersebut dan menarik keluar sebuah kaset.
“Menurutmu ini bagus?” Tanyanya setelah kaset itu berpindah ke tangannya.
“Ya, kurasa.” Kataku yang langsung di beri pukulan pelan di tanganku. Aku hanya tertawa.
Di perjalanan pulang, kami memutuskan untuk naik taksi. Ji Hye berkata, ia yang membayar semuanya, karena ia sedang tidak mood untuk naik bus seperti biasanya.
“Ji Hye, kurasa ada yang berubah denganmu.” Kataku memecah keheningan di dalam taksi tersebut. Dia menolehkan kepalanya yang sejak tadi melihat ke luar jendela.
“Benarkah? Apanya? Aku baik-baik saja.” Katanya sambil menunduk. Terlihat dengan jelas sekali bahwa ia berbohong.
“Bohong. Kau mengatakannya dengan ragu-ragu. Ada apa?” Tanyaku.
Lima detik kemudian mengalirlah ceritanya tentang seorang laki-laki yang tidak di sukainya, yang dari dulu hingga sekarang terus mengejarnya. Aku terus mendengarkannya sampai ia selesai bercerita.
“Siapa lelaki itu? Biar aku yang membereskannya untukmu.” Kataku. Dia menggeleng kuat-kuat, lalu berkata, “Tidak. Tidak perlu. Aku sudah merasa lega bisa menceritakan kekesalanku ini padamu. Karena setiap kali aku ingin bercerita pada teman-teman perempuanku, mereka selalu sibuk. Hanya padamulah aku bisa bercerita.”

In front of people, she has principle as she plays
In front of me, she’s like, “Aing, I don’t know,”


Kupandangi langit-langit kamarku, seolah-olah ada sesuatu yang ganjil di sana. Bukan, bukan. Aku bukan memikirkan itu, plafon kamarku baik-baik saja. Lalu?
Ya tuhan. Sepanjang hari bersamanya, hingga hari ini, yang kupikirkan hanyalah, bagaimana caranya membuat Ji Hye bisa mengetahui perasaanku ini. Rasanya, perasaan sukaku kini sudah berubah. Aku sangat menyayanginya. Dan aku tidak main-main dengan hal itu.
Kenapa aku bisa sangat menyayanginya? Dia cantik, itu benar. Tapi ada hal lain, yang tiba-tiba saja teringat olehku. Soo Young juga tidak kalah cantiknya dengan Ji Hye. Jika dibandingkan dengan sifat, mereka berdua menurutku tidak beda jauh. Astaga, kenapa aku jadi membandingkan mereka berdua? Terlebih lagi, untuk apa aku mengingat Soo Young?
Bagiku… yah, tidak ada alasan khusus kenapa aku bisa menyayanginya. Tapi bagiku, dialah orang yang tidak kuinginkan untuk terluka. Aku ingin bisa berada di sisinya, untuknya.

Make my heart race again
Make me able to create sweet songs again

this love got me high I’m soarin’…
Saku celanaku tiba-tiba bergetar. Kuraih ponsel yang berada di dalamnya dan membuka flap ponselnya.
“Ji Hye, ada apa?” Ucapku saat melihat nama Ji Hye tertera di layarnya.
“Maaf, tapi ini bukan Ji Hye. Kami dari pihak rumah sakit me—”
“Rumah sakit?! Apa yang terjadi padanya?!” Mendengar kata rumah sakit, aku terkejut bukan main dan beranjak dari tempat tidurku.
“Dia mengalami kecelakaan. Keluarganya tidak ada yang bisa dihubungi dan kebetulan hanya anda yang bisa dihubungi. Bisakah anda da—”
“Ini dari rumah sakit apa?”
“Dongjanam.”
Tanpa berkata-kata lagi, aku memutuskan sambungan telepon dan beranjak pergi meninggalkan kamar tanpa sempat mengenakan jaketku seperti biasanya.
Kebingungan melanda sesaat setelah aku keluar dari  flatku. Tidak ada taksi yang lewat di dekat sini. Apa yang harus kulakukan? Kalau aku naik bus seperti biasanya, itu tidak mungkin karena akan makan waktu lama. Tapi sepertinya pilihanku hanyalah itu.
Aku berlari sekencang-kencangnya menuju halte bus. Dari kejauhan aku melihat bus sudah hampir sampai di halte bus. Aku mempercepat lariku, tapi sesaat kemudian aku melihat sebuah taksi melesat dari balik bus. Tanpa berpikir lagi, aku segera menghentikan taksi itu.
“Rumah sakit Dongjanam.” Kataku sambil membuka pintu taksi saat taksi itu sudah berhenti di depanku. Supir itu hanya mengangguk dan langsung melajukan taksi.
15 menit kemudian aku sampai di rumah sakit. Setelah membayar uang taksi, aku segera berlari ke dalam rumah sakit dan bertanya pada perawat yang kebetulan lewat di depanku.
“Permisi. Kau tahu di mana ruangan seseorang bernama Kim Ji Hye?” Tanyaku.
“Anda bisa bertanya langsung di resepsionis.” Perawat itu menunjuk meja besar yang berada kira-kira 5 meter dariku. Aku langsung berlari sambil mengucapkan terima kasih kepada perawat itu. Sesampainya di resepsionis aku langsung bertanya.
Setelah mengetahui ruangannya, aku segera menuju ruangannya. Saat kubuka pintunya, suasana sangat hening, tidak ada suara apapun. Aku melongokkan kepalaku dan melihat seseorang terbaring di atas ranjang. Pelan-pelan aku menghampirinya.
Perban melingkar di atas matanya yang terpejam. Kurasa lukanya tidak terlalu parah, karena aku hanya melihat perban itu saja yang melingkar di dahinya. Dengan perasaan lega, perlahan kuangkat tanganku, menemukannya dengan pipinya. Lalu kemudian kuelus sepelan mungkin agar ia tidak terganggu. Tapi ternyata hal itu malah mengganggunya, karena 5 detik kemudian aku melihat matanya yang terpejam itu bergerak-gerak dan perlahan-lahan terbuka.
“Young Bae?” Suaranya nyaris tidak terdengar, seperti angin yang lewat saja, tapi aku bisa mendengarnya karena di dalam ruangan itu sangat sunyi dan hanya ada kami berdua.
“Ya, aku disini. Kau tidak apa-apa. Kau berada di rumah sakit sekarang.” Kataku saat melihat kebingungan menyelimuti wajahnya. Mulutnya menutup dan membuat sebuah senyuman. Aku membalas senyumannya.
“Kalau begitu…” Suaranya sudah lebih jelas dari sebelumnya. “Tanganmu.” Ia melihat ke bawah—lebih tepatnya ke tanganku. Aku tersentak, lalu cepat-cepat menarik tanganku.
“Maaf.” Kataku. Dia hanya diam.
Tapi tidak lama kemudian, tawa kami meledak.
“Kau sudah berada di sini sejak tadi?” Tanyanya setelah berhasil menelan tawanya.
“Tidak, aku baru saja datang. Dan kemudian… ya, tadi itu.” Kataku. Aku tertawa lagi mengingat hal bodoh yang kulakukan tadi. Dia juga ikut tertawa.
“Apa yang sudah kau lakukan dengan pipiku?” Tanyanya dengan tawa yang masih bisa kudengar.
“Tidak, aku hanya—ah, apa tidak boleh?”
Dia tertawa lagi.
“Sudahlah, lupakan saja. Mana jaketmu?” Tanyanya.
“Aku tidak sempat membawanya. Lupa.” Aku terkekeh.
“Kebiasaan.”

You’re the person I want to give my heart to
Girl, I need a girl
Girl like you gotta make you mine
I’m a treat you right baby


Ini sudah memasuki hari ketiga sejak Ji Hye di rawat di rumah sakit. Kemarin lusa, aku tidak membawa apapun—tapi kemudian aku pergi untuk mengambilkannya pakaian di rumahnya, sekaligus memberitahu orang tuanya, lalu kembali lagi kerumah sakit. Kemarin, aku membawakan buah-buahan, dan hari ini, aku ingin membawakannya bunga. Karena itu, setelah membeli setangkai bunga mawar kesukaannya, aku langsung menuju ke rumah sakit.
Saat sampai di sana, kulihat ia sedang duduk di sudut ruangan, membelakangiku.
“Ji Hye, apa yang kau lakukan disana?” Dia berbalik begitu mendengar suaraku.
“Hei, Young Bae!” Dia terlihat senang ketika melihatku. “Aku sudah bisa pulang hari ini.” Katanya. Oh. Ya ampun.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?” Tanyaku, sambil cepat-cepat menyembunyikan bunga itu di belakangku.
“Maaf, tapi aku baru saja bertanya kepada dokter tadi pagi, dan saat itu juga aku baru tahu kalau aku sudah di perbolehkan pulang. Memangnya kau tidak senang?” Tanyanya.
“Tentu saja senang. Kau sudah sehat kembali kan?” Tanyaku sambil menghampirinya ketika ia mengangkat tas berisi pakaiannya. Aku mengambil tasnya dan membawakannya.
“Hei, biar aku saja.”
“Tidak apa-apa. Pembayarannya sudah diurus?” Tanyaku.
“Sudah, kemarin orang tuaku yang mengurusnya.” Tangannya sudah menyentuh pintu kalau saja aku tidak memanggilnya tiba-tiba.
“Apa?” Dia berbalik, dan aku dengan cepat langsung meraih tangannya.
“Young Bae, apa yang kau lakukan?” Aku mengabaikan pertanyaannya.
“Hei. Oh ap—” Suaranya tertahan saat aku berlutut dengan satu kaki di hadapannya.
“Kim Ji Hye,” Aku menengadah. “Aku berjanji akan mencintaimu selamanya—sampai kapanpun. Maukah kau menjadi kekasihku?”
Bisa kulihat wajahnya berubah bersemu merah. Aku berdiri, kemudian kukeluarkan bunga mawar yang daritadi kusembunyikan di belakangku dan kuberi padanya. Ia mengambilnya, lalu kemudian menatapku dalam diam.
“Ji Hye?”
“Ya.” Ucapnya singkat dan sangat sangat pelan, tapi aku bisa mendengarnya.
“Terima kasih.” Kataku sambil menariknya ke dalam pelukanku. Dia balas memelukku, dan aku kemudian mengecup puncak kepalanya pelan.
“Saranghamnida, Kim Ji Hye.”

Girl, I Need A Girl
Baby, I need you
Girl, you need me, too

THE END

Copyright © 2009 Dintaeyang's blog All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.