0
FF/ONESHOOT/LIE/PG15
-prolog-
Dialah orang yang menjadi sandaran hidupku, begitu pikirku setiap kali melihatnya. Saat ia tersenyum dan berkata segalanya akan baik-baik saja, aku tahu itulah yang akan terjadi padaku. Saat dia memelukku dalam dekapan hangatnya, kedamaian seolah selalu ada dalam diriku. Saat bibirnya dengan lembut menyentuh bibirku, kebahagiaan menyelimutiku.
Tapi kali ini berbeda. Saat bibirnya bertemu dengan bibirku, aku bisa merasakan ciuman ini berbeda—terlalu kasar. Aku membuka mataku yang sesaat terpejam karena sedikit terbuai dengan ciumannya. Tapi aku di kejutkan oleh hal lain. Di belakangnya, aku melihat tangannya mengacungkan pisau tinggi-tinggi.
~~
“Diamlah. Aku mau tidur!” Aku memukul Seung Hyun yang tetap asyik dengan headphone-nya. Dia membuka matanya dan melirik sedikit ke arahku, lalu kembali memejamkan mata lagi dan menikmati lagu-lagunya. Yah, terserah dia mau menikmati lagu, tapi tidak perlu menyanyi juga!
“Hei!!” Kuguncang pundaknya kuat-kuat hingga dia melepas headphone-nya.
“Apa? Kau tidak bisa melihatku senang sedikit, ya?!” Katanya gusar.
“Aku mau tidur dan untuk itu aku perlu ketenangan! Berhentilah menyanyi!” Kataku tidak kalah gusar.
“Tapi suaraku bagus! Kau terlalu banyak alasan. Padahal, kau bisa menikmatinya.” Katanya sambil berbalik menghindari tatapanku. Dia memasang headphone-nya lagi. Aku langsung menariknya dan berbalik. Langsung saja kusembunyikan benda itu.
“Heei! Kembalikan!” Bisa kurasakan badanku diguncang-guncang oleh Seung Hyun yang meminta kembali benda itu. Aku bergeming, tidak memperdulikannya.
“Kau ini aneh. Pagi-pagi berangkat sekolah, seharusnya kau semangat, bukannya malah ti—” Ucapannya terputus sesaat, lalu kemudian berlanjut lagi, “Hei, hei. Kita sudah sampai.”
Aku membuka mataku. Belum sempat untuk melihat keluar, tanganku sudah di tarik oleh Seung Hyun.
“Tunggu, bodoh! Tasku tertinggal!” Teriakku saat kami sudah sampai di depan pintu bus. Seung Hyun melepaskan tarikannya dan mengambil headphone-nya yang sejak tadi kupegang. Aku berbalik untuk mengambil tasku. Setelah mengambil tasku di kursi tadi, aku dengan terburu-buru menuju ke pintu bus.
BRUK!
Saking terburu-burunya, aku menabrak orang hingga menyebabkan tasnya jatuh dan menumpahkan semua isinya.
“Maaf! Maafkan aku!” Aku cepat-cepat membantunya merapikan bukunya dan memberikannya padanya. Aku tertegun saat memberikan buku-buku itu padanya. Dia…
“Terima kasih.” Ucapnya, lalu berdiri dan berjalan meninggalkanku. Aku masih memikirkan kembali kejadian tadi, kalau saja tidak mendengar pintu bus tertutup. Cepat-cepat kusuruh berhenti bus tersebut, lalu langsung turun begitu pintu bus terbuka. Aku tidak mendapati Seung Hyun saat turun dari bus. Urgh. Pasti dia sudah meninggalkanku. Aku segera berlari menuju sekolah. Saat melihat punggung Seung Hyun, aku mempercepat lariku.
“Teganya kau meninggalkanku!” Teriakku kesal. Dengan headphone yang sedang di kenakannya, tentu saja ia tidak mendengarku. Aku memukul pundaknya. Dia menoleh dan melepas headphonenya.
“Kenapa lama?” Tanyanya.
“Ada kejadian. Aaah, Seung Hyun! Kau tahu, siapa yang kutabrak saat di bus tadi?”
“Siapa?”
“Ki Bum! Astaga, dia begitu cool dengan senyumannya itu.” Kataku sambil mengingat kembali kejadian tadi.
“Orang itu lagi? Kau tidak bosan?”
“Tidak.” Jawabku cuek. Seung Hyun kembali memasang headphonenya dan tenggelam kembali dalam musik-musiknya.
Aku tidak menyangka ini, tapi ini memang benar kenyataan!
“Seung Hyun, pukul aku!” Teriakku sambil memegang pipiku.
“Dengan senang hati.” PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Sakit!
“Ini mimpi?” tanyaku lagi. Seung Hyun memukulku lagi. Apa sih maunya?
“Aku tidak minta di pukul!” Teriakku gusar.
“Ini bukan mimpi, ssi. Dua pukulan sudah mendarat di pipimu. Puas?” Tanya Seung Hyun. Aku hanya menggembungkan pipiku.
“Jadi, bagaimana ceritanya?” Tanya Seung Hyun. Aku berusaha menahan senyumku.
“Yeah, jadi… Ki Bum mengajakku bertemu tadi siang. Dia—aaa!”
“Ucapkanlah dengan benar,” kata Seung Hyun gemas. Aku kebingungan mencari kalimat yang tepat.
“Dia memintamu jadi kekasihnya?” tebak Seung Hyun. Aku menggenggam kedua tangannya erat.
“Kurasa ini mimpi!” Teriakku lagi.
“Tentu saja dia menyukaimu yang cantik ini,” katanya. Aku terdiam. Sambil berusaha menahan senyum, aku mendekatkan wajahku padanya.
“Apa kaubilang tadi?” godaku. Seung Hyun memalingkan wajahnya ke jendela, menatap keluar rumahnya.
“Bukan apa-apa,” jawabnya.
Bisa kurasakan tangan Seung Hyun yang sedang kugenggam kini menjadi dingin.
Esok harinya, seperti biasanya aku berangkat sekolah bersama Seung Hyun. Saat berjalan di koridor sekolah bersama Seung Hyun, tiba-tiba terdengar derap langkah mendekati kami beriringan dengan teriakan yang memanggil namaku.
“Dara!”
Aku menoleh dan melihat Ki Bum berdiri di hadapanku. Astaga, dia—
“Maaf, aku duluan.” Suara Seung Hyun terdengar. Belum sempat kujawab pertanyaannya, ia sudah berbalik dan pergi meninggalkan kami.
“Dara, aku perlu bicara denganmu.”
Aku kembali ke kelas saat bel yang menandakan di mulainya pelajaran berbunyi. Pikiranku tidak menentu saat ini. Wajah Ki Bum berkelebatan memenuhi pikiranku, yang kemudian di susul oleh wajah Seung Hyun.
Apa Ki Bum benar-benar secemburu itu? Sampai-sampai aku tidak boleh bersama Seung Hyun? Apa aku benar-benar harus menjauhinya?
TIDAK! Aku tidak bisa! Hanya Seung Hyun tempatku berbagi semua perasaanku. Hanya dia yang mau mendengarkan!
“Sandara-ssi.” Sebuah panggilan membuatku tersadar. Aku baru sadar semua sudah duduk kembali di tempatnya dengan rapi dan hanya aku yang berdiri sendirian di depan pintu. Sonsaengnim sudah berdiri dengan melipat tangannya di depan dada dan menatapku tajam. Refleks, aku langsung membungkukkan badanku.
“Maaf, sonsaengnim!”
“Sudahlah, cepat duduk!”
Aku segera mengangguk dan berjalan menuju kursi kosong di sebelah Seung Hyun. Astaga, menjauhinya? Bahkan di kelas pun aku sebangku dengannya!
Hari-hari berlalu dengan cepat. Hubunganku dengan Ki Bum semakin baik saja, tapi tidak dengan hubunganku dengan Seung Hyun. Saat di kelas, aku berusaha tidak menggubrisnya yang terus bertanya ada apa denganku. Karena tidak juga mendapat respons dariku, akhirnya ia berhenti dan menjadi cuek padaku.
Berangkat sekolah pun kami tidak bersama lagi. Memang kami satu bus, tapi dia duduk jauh di belakang, sementara aku di depan. Hubungan kami benar-benar sudah merenggang.
Aku benar-benar jahat! Sebenarnya ada apa denganku?! Kenapa aku lebih memilih Ki Bum yang baru menjadi kekasihku daripada Seung Hyun yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatku?
Tapi kalau melihat Seung Hyun begitu cuek padaku, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sedikit perasaan kesal menyusup dalam hatiku dan membuatku juga malas untuk menyapanya.
“Dara, ada apa?” Pertanyaan Ki Bum sukses membuyarkan pikiranku. Aku cepat-cepat menggeleng.
“Benarkah?” Tanyanya sambil melahap kembali es krimnya. Aku mengangguk lalu ikut melahap es krimku. Kubiarkan ia menatapku dengan pandangan aneh.
“Nanti malam ada acara?” Tanyanya. Aku berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Tidak. Ada apa?”
“Aku mau kerumahmu. Boleh, kan?” Tanyanya. Aku berpikir sebentar dan akhirnya mengangguk.
“Dara…” Panggilnya. Aku menoleh dan terkejut saat merasakan bibirnya sudah menyentuh bibirku. Es krim itu begitu terasa saat ia melumat bibirku. Aku hanya diam, tapi akhirnya aku membalasnya.
Kupikir tidak ada kebahagiaan yang melebihi saat-saat seperti ini. Ki Bum, aku benar-benar mencintaimu.
Sepulang dari taman bersama Ki Bum, aku langsung membongkar isi lemariku. Aku mencari-cari pakaian terbaikku dan akhirnya mendapatkannya setelah 2 jam duduk di depan lemari sambil membongkarnya. Karena hari sudah sore, aku pun bergegas mandi.
Appa dan umma pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan, karena itu aku berani mengiyakan Ki Bum yang meminta izin ke rumahku. Tidak, tidak, jangan berpikiran macam-macam. Aku akan menjaga diriku—tentu saja.
Jam 7 malam, tepat setelah menyiapkan semua makanan di atas meja, bel rumah berbunyi. Aku bergegas ke depan pintu dan mendapati Ki Bum di hadapanku. Ia begitu tampan dengan kemeja coklatnya.
“Dara, boleh aku masuk?” Pertanyaannya menarikku kembali ke alam kesadaranku. Cepat-cepat aku mundur dan memberi jalan untuknya masuk. Aku langsung mengajaknya ke dapur.
“Kau membuat semua ini?” Tanyanya dengan mata berbinar-binar. Aku mengangguk. Ia duduk di kursi dan aku menyusulnya duduk di hadapannya.
“Sebenarnya kau tidak perlu repot, Dara,” ucapnya saat kami mulai makan.
“Aku tidak repot. Aku terlalu senang dengan kedatanganmu,” kataku jujur. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas sehingga membentuk senyuman.
Selesai makan kami duduk di sofa yang ada di depan televisi. Kami membicarakan segala hal dan aku sangat menikmatinya. Sepertinya Ki Bum juga.
Saat ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, aku hanya diam dan membiarkan bibirnya perlahan menyentuh bibirku. Entah kenapa kali ini aku merasakan ciuman ini berbeda—terlalu kasar. Aku membuka mataku yang sesaat terpejam karena sedikit terbuai dengan ciumannya. Tapi aku di kejutkan oleh hal lain. Di belakangnya, aku melihat tangannya mengacungkan pisau tinggi-tinggi.
Aku segera melepas ciuman itu dan mundur. Ki Bum mengacungkan pisau itu tepat di hadapanku. Sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi dengan Ki Bum?
Aku merasa tidak membuatnya marah. Aku bahkan menjauhi Seung Hyun demi dia. Lalu kenapa dia melakukan ini padaku?
Tunggu. Matanya berair. Aku tidak salah lihat—aku benar-benar yakin. Bahkan kilatan kemarahan pun tidak kutemukan di matanya. Sebenarnya apa maksudnya ini?
Aku hanya bisa memejamkan mata saat melihatnya ingin menusukkan pisau itu padaku. Aku tidak merasakan apapun dan akhirnya membuka mataku saat mendengar suara orang mengerang kesakitan.
Itu Seung Hyun.
“Dara, pergi!” Teriak Seung Hyun.
“Jangan!” Teriakan Ki Bum terdengar juga. Ia berusaha balas memukul Seung Hyun yang memegangi kedua tangannya.
“Jangan dengarkan dia! Pergilah! Pergi, bodoh!” Teriak Seung Hyun. Aku kebingungan. Pandanganku mulai kabur dan butir-butir air mata mulai turun membasahi pipiku. Rasa takut begitu menghantuiku.
“ARGH!” Teriakan Ki Bum terdengar saat Seung Hyun memukul pipinya berkali-kali. Aku melihat Seung Hyun mengambil pisau di tangan Ki Bum dan mengacungkannya tinggi-tinggi di depan Ki Bum.
“Tidak, Seung Hyun! Jangan! Jangan lakukan itu!” Teriakku. Seung Hyun menurunkan pisaunya. Ia menatapku tajam.
“Dia ingin membunuhmu, dan kau masih ingin menyelamatkannya?!” Teriak Seung Hyun gusar. Aku menghampirinya dan berniat mengambil pisaunya. Seolah bisa membaca pikiranku, ia langsung menyembunyikan pisau itu.
“PERGI!” Teriak Seung Hyun. Aku berusaha mengambil pisau itu dari tangannya, tapi tidak berhasil. Ia mendorongku dengan badannya hingga aku terjatuh cukup jauh darinya.
“Tidak! Ja—” Kata-kataku terputus saat melihat Seung Hyun menusukkan pisau itu tepat di dada Ki Bum. Aku terdiam melihat kejadian itu. Darah mulai bersimbah kemana-mana. Baju putih yang di pakai Seung Hyun berubah warna menjadi merah karena darah itu mulai membasahi tubuhnya. Perlahan kesadaranku memudar. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.
Aku membencinya—kuakui itu. Tapi tidak bisa kupungkiri, aku masih menyayanginya sebagai sahabatku. Sahabat yang selalu menemaniku selama bertahun-tahun.
“Apa kabar?” Tanyaku setelah duduk di hadapannya. Beberapa petugas keamanan mengelilingi kami. Ia tidak menjawabku. Aku lalu meletakan tanganku di atas meja dan perlahan menggenggam tangannya.
“Seung Hyun…” panggilku. Perlahan ia mengangkat wajahnya. Kini aku bisa melihat wajahnya di bawah temaram lampu.
“Katakan sesuatu.” Perlahan aku mengelus tangannya. Aku bisa merasakan tangannya semakin erat menggenggam tanganku.
“Dara… maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal—sungguh,” katanya. Aku kebingungan mendengarnya.
“Apa maksudmu? Aku tahu kau melakukan itu untuk menyelamatkanku darinya, kan?” tanyaku bingung. Ia menggeleng lalu melepaskan genggaman tangan kami. Di rogohnya sakunya dan mengeluarkan kertas yang sudah di lipat-lipat. Ia lalu memberikannya padaku.
“Buka saat di rumah saja,” pesannya. Aku terdiam menatap kertas itu lalu menatapnya lagi.
“Baiklah. Tapi ini apa?”
“Surat dari Ki Bum. Untukmu. Maaf, aku telah membacanya duluan,” kata Seung Hyun. Aku tertegun. Selanjutnya hanya keheningan yang ada antara kami berdua. Aku terlalu sibuk bertanya-tanya sendiri apa isi surat itu.
“Sandara-ssi. Waktu anda sudah habis.” Seorang petugas keamanan menghampiri kami. Aku mengangguk dan beranjak dari kursi.
“Seung Hyun, aku pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik disini,” pesanku. Ia mengangguk dan aku langsung berbalik. Tiba-tiba aku mendengar suara Seung Hyun memanggilku.
“Ya?” Aku berbalik.
“Maaf kalau aku terlalu lancang. Tapi—aku mencintaimu.” Sebuah senyum terukir di wajahnya saat mengatakan hal itu. Aku tertegun dan menatapnya dalam diam.
“Sandara-ssi, ayo.” Petugas keamanan itu membawaku pergi dari ruangan itu. Aku sempat melihat Seung Hyun melambai padaku.
-epilog-
Karena tahu kejadiannya sudah pasti akan seperti ini, makanya aku membuat surat ini. Dara, maaf. Maafkan aku. Aku yakin saat kau membaca ini, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Seseorang sangat membencimu dan menyuruhku untuk membunuhmu. Aku tidak bisa menolaknya karena yang menyuruh adalah appa. Aku tidak bisa mengatakan alasan appa ingin membunuhmu, tapi aku tidak bisa menolaknya.
Tapi kau tidak perlu ragu. Aku mencintaimu—dan aku tidak bohong tentang itu. Aku tahu appa memanfaatkan kesempatan saat aku menjadi kekasihmu untuk membunuhmu. Aku tidak bisa menolaknya karena aku sangat mencintainya. Dia sangat berharga karena hanya dia orang selain kau yang sangat kupercaya.
Kalau kau bertanya kenapa aku menyuruhmu menjauh dari Seung Hyun itu karena tidak lain appa juga yang menyuruhku agar memudahkan pembunuhan ini terjadi. Tapi sebenarnya aku tahu kalau Seung Hyun selalu mengikuti kita. Aku tahu benar dia sangat mencintaimu hingga mau mengikuti kemanapun kita pergi karena ingin mengawasimu.
Kumohon maafkan aku, Dara.
Maaf.
Ki Bum.
THE END