“Bisa?”
“Ya, tentu saja. Dimana?”
“Di tempat biasa. Bagaimana?”
“Baiklah. Sampai nanti.”
Aku memutuskan sambungan lalu menutup flap ponselku. Kuletakkan ponselku dimeja, lalu melipat tanganku di atas meja. Berbingkai jendela berwarna coklat itu, terlihatlah langit sore dengan awan yang tidak beraturan bentuk dan letaknya, tetapi entah kenapa terlihat begitu indah. Cahaya matahari sore berusaha menyusup melalui awan-awan besar itu, yang kemudian nampak bagai aurora.
Kubuka jendela tersebut dan menyadari bahwa udara tidak lagi sedingin kemarin. Musim semi sudah semakin dekat, dan aku selalu mengharapkan ada keajaiban yang membuat musim semi datang lebih cepat. Yah, tapi bukan berarti aku membenci musim dingin.
Aku beranjak dari dudukku, lalu menuju ke kamar mandi. Ya, aku harus bersiap karena aku harus memenuhi janji untuk bertemu dengannya malam ini.
Sambil berjalan memasuki café itu, aku menurunkan tutup kepala jaketku dan merapatkan jaketku. Aku melihat sekeliling, dan menemukan meja kosong di dekat pagar pembatas. Aku segera melangkahkan kakiku menuju meja itu.
“Dong Young Bae-ssi?” Seorang pelayan menghampiriku saat aku baru saja duduk di kursi. Lantas ia memanggilku.
“Ya. Ada apa?” Tanyaku.
“Nona Soo Young menitip pesan untukmu.” Pelayan itu tersenyum ramah padaku. “Dia berkata kemungkinan ia datang terlambat. Ia menyuruhmu untuk tetap menunggunya.”
“Oh, begitu. Ya, terima kasih.” Pelayan itu tersenyum, lalu berbalik pergi meninggalkanku.
Kenapa ia tidak langsung memberitahuku melalui telepon? Bukankah cara itu lebih mudah? Atau mungkin sebelumnya ia kesini dan mempersiapkan segalanya untukku? Ah, tidak mungkin.
Suara klakson mobil membuyarkan pikiranku. Aku menoleh dan melihat Soo Young turun dari mobil. Mobil? Sejak kapan dia di antar? Biasanya, ia selalu berangkat sendiri. Apa dia punya supir baru?
“Annyeong, Young Bae-ssi.” Sapanya setelah duduk di depanku. Young Bae-ssi, katanya?
“Kenapa kau memanggilku seperti itu?” Tanyaku langsung. Ia menatapku lama, kemudian berkata, “Ah. Kau sudah memesan sesuatu?”
“Belum. Aku menunggumu.” Kataku. Perasaanku saja atau… ia memang berubah?
“Kupesankan, ya? Coklat panas, kan?” Tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Mungkin hanya perasaanku saja kalau ia berubah. Ia melambaikan tangannya dan tidak lama kemudian seorang pelayan datang menghampirinya.
“Jagii, kau diantar siapa tadi?” Tanyaku saat ia sudah selesai memesan dan pelayan sudah pergi.
“Itu? Teman kuliahku.” Katanya tanpa menatapku. Ia mengambil tasnya dan mengobrak-abrik isinya. Tidak lama kemudian ia mengeluarkan ponselnya.
“Siapa? Min Hye?”
“Bukan.” Jawabnya sambil tetap konsentrasi dengan ponselnya. Aku ingin bertanya lagi, tapi minuman yang di pesan sudah datang. Soo Young memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu mengaduk cappuccino hangatnya. Entah kenapa, ia sudah berubah. Benar, ia sudah berubah. Sejak kapan dia jadi sedingin ini? Apa udara yang dingin membuat sikapnya jadi dingin juga?
“Young Bae-ssi.” Mendengar suara Soo Young, aku langsung mengangkat wajahku. Kulihat wajahnya begitu gelisah. Aku berusaha tidak menghiraukan embel-embel ‘ssi’ yang dipakainya untuk memanggilku, tapi hal itu tetap saja memenuhi pikiranku.
“Ada apa?”
“Aku minta maaf sebelumnya. Untuk semuanya.”
“Minta maaf? Kenapa?”
“Aku mau kita mengakhiri hubungan kita hari ini. Maafkan aku.” Ia menunduk dan mengaduk cappuccinonya. Apa katanya? Akhiri? Tapi… kenapa?
“Sebenarnya… akhir-akhir ini… aku menyukai orang lain. Dan aku merasa, kalau kita meneruskan hubungan ini, berarti aku membohongimu dengan perasaanku. Aku tidak ingin seperti itu. Kurasa ini jalan terbaik.” Lanjutnya.
Aku terdiam dan berusaha memahaminya. Aku mengerti. Ini artinya, dia bukan untukku. Aku setuju dengan pernyataannya. Aku menghargai pendapatnya. Benar, ini yang terbaik untukku. Dan, dia juga.
Perlahan kugenggam tangannya, yang kemudian membuatnya mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk. Pelan-pelan, aku menarik tangannya. Kami pun berjalan keluar café.
“Aku mengerti. Untuk terakhir kali, Soo Young-ah, maukah kau mengabulkan permintaanku?” Tanyaku. Ia menatapku lama, lalu akhirnya mengangguk.
“Izinkan aku menciummu dan memelukmu untuk terakhir kalinya.” Kataku sambil mendekatkan bibirku ke bibirnya. Ia tidak menolak, dan aku menciumnya lembut. Entah untuk berapa lama, baru kemudian aku melepasnya. Aku memeluknya erat, dan perlahan aku merasakan tangannya juga melingkar di badanku.
“Maafkan aku, Young Bae-ah.” Ucapnya lembut. Aku mengangguk, lalu berkata, “Tidak apa-apa. Aku mengerti kalau ini yang terbaik.”
Tired of being alone, Sick of being single
I Think I need me a girl, I need a girl like…
Sudah 2 bulan berlalu sejak hubunganku dan Soo Young sebagai sepasang kekasih berakhir. Sampai saat ini pun, hubunganku dengannya tetap berjalan dengan baik. Dia selalu terlihat bahagia ketika berjalan dengan kekasih barunya itu—yang aku lupa namanya. Yang jelas, aku merasa iri dengan kekasihnya itu. Aku iri dengannya yang bisa mendapatkan Soo Young, dan juga bisa membuat Soo Young menemukan kebahagiaannya.
Melihat mereka begitu akrab dan bahagia, terkadang membuatku merasa muak dengan diriku sendiri. Entahlah, mungkin aku muak dengan diriku yang tidak berusaha mencari penggantinya. Tidak hanya itu, aku juga merasa lelah untuk terus sendiri tanpa seorang yang menemaniku saat aku kesepian.
Benar juga. Aku harus mencari penggantinya. Ya, aku membutuhkan seorang perempuan untuk mendampingiku.
One that speaks without thinking
Not a little child, but one that will embrace me
Not a girl that plays around sometimes when she’s bored
But one that will only love me
Siang itu, aku masih duduk menikmati hangatnya udara pagi bersama Ji Yong di sebuah taman di depan kampus. Tiba-tiba, 5 orang yeoja datang dan duduk tepat di kursi yang ada di belakangku. Sepertinya pembicaraan mereka seru sekali, karena mereka datang dengan heboh.
Seorang yeoja menarik perhatianku. Rambutnya yang kira-kira panjang sebahu di urai begitu saja. Ia mengenakan hoodie abu-abu dengan celana jeans sebagai bawahannya. Sesaat pandangan kami bertemu. Ia tersenyum padaku, dan aku pun membalas senyumannya. Dia terlihat begitu cantik dan sepertinya yang paling muda dari teman-temannya. Kemungkinan umurnya dua tahun lebih muda dariku.
“Hoi!” Teriakan Ji Yong mengejutkanku.
“Apa, sih?!” Tanyaku kesal sambil setengah berbisik. Ia melihatku dengan heran. Kenapa lagi?
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” Tanyanya. Belum sempat aku mau menjawab, ia sudah berkata lagi, “Tidak ada yang memperhatikan atau pun menguping pembicaraan kita, kenapa kau berbisik seperti itu?”
Ah. Iya juga, ya. Kenapa aku jadi salah tingkah begini, sih?
“Bukan urusanmu.” Kataku. Ji Yong malah tertawa. “Kenapa tertawa?” Tanyaku lalu meminum minumanku. Diam-diam aku memperhatikan yeoja itu lagi, lalu aku mengalihkan pandanganku ke Ji Yong. Ah! Ternyata dia berbalik untuk melihat yeoja itu. Tidak lama kemudian ia berbalik ke arahku.
“Aku tahu. Kau memperhatikan mereka, ya? Yang mana?” Tanya Ji Yong dengan senyum nakal. Aku memutar mataku dengan kesal, lalu berkata, “Kau mengikuti arah pandanganku, ya?”
Ji Yong tiba-tiba menepuk telapak tangannya lalu menunjukku. “Benar kan dugaanku!”
Ternyata dia hanya menduga? Ah, bodoh kau Young Bae. Kau sungguh bodoh. Kenapa kau bertanya seperti itu?
“Kukatakan padamu, ya. Mereka semua itu senior kita, satu tahun lebih tua dari kita.” Kata Ji Yong.
Oh. Kupikir dia yang paling muda, tapi ternyata mereka semua seumuran. Tapi… apa Ji Yong berbohong? Dia terlihat paling muda di antara semuanya!
“Kau tidak percaya?” Sepertinya Ji Yong melihat wajahku yang tidak percaya.
“Yang mana, Young Bae-ah?” Tanyanya. Aku menggetok kepalanya.
“Apa, sih?” Tanyaku kesal.
“Kau suka yang mana di antara mereka?” Tanya Ji Yong lagi. Dan aku menggetok kepalanya, lagi.
“Hei, aku serius. Tidak apa-apa. Aku tidak mungkin merebut mereka darimu karena aku sudah punya kekasih.” TOK! Aku menggetok kepalanya lagi, dan kali ini di sertai pukulan di pundaknya.
Tapi akhirnya kutunjuk juga secara diam-diam yeoja itu. Ji Yong mengangguk lalu berkata, “Namanya Kim Ji Hye. Umurnya, seperti yang kubilang tadi, setahun lebih tua dari kita.” Katanya, dan tiba-tiba melanjutkannya dengan setengah berbisik, “Kalau kau menyukainya, sainganmu berat, kau tahu.”
“Kau menyukainya?”
“Tidak. Aku ini tetap setia pada kekasihku. Tapi, yang menyukainya itu banyak sekali.”
“Dia sudah punya kekasih?”
“Kudengar, sih, belum.”
Belum kan? Baiklah, ini kesempatanku!
“Aku tahu yang kau pikirkan. Kau pasti menyerah duluan.”
“Hei, aku tidak serapuh itu.” Aku menggetok kepalanya lagi—entah untuk keberapa kalinya. Kemudian aku melanjutkan dengan setengah berbisik. “Aku akan mendapatkannya, lihat saja.”
Even if she stays still and guys hand her their phone
That kind of girl that will proudly take out and show my picture
Dalam perjalanan kembali ke kampus, aku melihat dia berjalan sendiri. Ini kesempatanku. Aku menepuk pundak Ji Yong, lalu berlari meninggalkannya yang berteriak memanggilku—yah, tapi tidak kuhiraukan juga. Paling-paling dia hanya bertanya aku mau kemana.
“Kim Ji Hye!” Panggilku. Yeoja itu menoleh. Aku mempercepat lariku.
“Ya?”
“Ah. Dong Young Bae imnida.” Aku mengulurkan tanganku. Ia membalasnya.
“Kau tahu namaku.” Katanya sambil tersenyum. Aku mengangguk.
“Maaf, apa kau sibuk?” Tanyaku. Ia melihat jam tangannya, lalu tiba-tiba terkejut.
“Ah, Young Bae-ssi. Maafkan aku, tapi aku harus segera ke kelas, jam kuliahku sudah mau dimulai.”
“Bagaimana kalau kuantar?”
“Tidak. Tidak perlu. Kita bertemu lagi saja nanti selesai jam kuliah. Bagaimana?” Dia mengusulkan.
“Baiklah. Di sini?”
“Ya.” Dia mengangguk. “Aku pergi dulu, Young Bae-ssi. Annyeong.” Dia melambaikan tangannya kepadaku, dan aku membalasnya. Setelah itu, ia pergi meninggalkanku. Aku pun berjalan menuju kelasku.
Dari jauh, aku melihatnya berjalan terburu-buru menuju ke kelas. Baru saja dia ingin masuk, aku melihat seorang lelaki datang dan menyodorkan ponselnya. Ji Hye tidak terlihat gelisah, tapi ia tersenyum lalu kemudian mendorong pelan ponsel yang di berikan lelaki itu.
“Hei!” Suara seseorang yang kukenali sebagai Ji Yong terdengar di sertai pukulan pelan di pundakku. Aku menoleh.
“Beraninya kau langsung memanggil namanya. Sudah kubilang dia itu senior kita.” Kata Ji Yong. Aku hanya tertawa menanggapi kata-katanya.
Aku menoleh kembali ke arah kelasnya, tapi dia sudah tidak ada.
A kind of girl that looks better in jeans than a skirt
A girl that will eat the kimchi fried rice that I make instead
A girl who looks young even though she’s old
I like that kind of girl
Sesuai janji, kami bertemu lagi di depan gerbang kampus. Saat aku ke sana, dia sudah berdiri santai sambil menyandar di tembok gerbang kampus. Saat melihatku, ia tersenyum lalu melambaikan tangan. Aku menghampirinya sambil terus memberikan senyuman terindahku.
“Sudah lama?” Tanyaku.
“Tidak juga.” Ia berjalan keluar kampus. Aku mempercepat langkahku agar bisa menyejajarinya.
Kami berjalan menyusuri trotoar. Sepanjang perjalanan, aku membujuknya agar ia mau ke rumahku. Awalnya ia menolak dengan halus, tapi setelah kupaksa, akhirnya ia mau juga. Dilihat dari wajahnya, aku tahu ia curiga padaku.
Untungnya dia tidak menolak ketika kuajak untuk pulang dengan bus. Dia bercerita kalau dia lebih senang pulang dengan bus, daripada naik taksi. Dan mengalirlah cerita kami seputar hobi, kebiasaan, dan lain sebagainya. Dia terlihat sedikit pemalu, tapi ia bisa cepat beradaptasi denganku yang baru dikenalnya. Ya, mungkin ini yang membuatnya di sukai banyak orang. Tapi lihat saja, aku akan mendapatkannya.
Bus berhenti di halte tujuan kami 20 menit kemudian. Kami pun turun, dan berjalan menuju flatku yang letaknya tidak begitu jauh dari halte ini. Dia sama sekali tidak mengeluh. Bahkan, ia tidak bosan bercerita tentang kehidupannya, tentang dia yang seringkali muak setiap ada lelaki yang memberikan ponselnya agar ia memberi nomor teleponnya. Ha.. ha.. padahal mungkin saja aku termasuk salah satu lelaki itu.
Aku membuka pintu flatku dan mempersilahkannya masuk. Dia tersenyum, lalu masuk ke dalam flatku dan langsung duduk di sofa yang ada di depan televisi.
“Nyalakan saja televisinya, aku mau ke dapur sebentar.”
“Apa yang kau lakukan di dapur? Duduklah bersamaku disini.” Ia menepuk tempat di sebelahnya dengan wajah kecewa. Aku tersenyum.
“Tunggu saja disini, Nuna.” Kataku sambil berjalan menuju dapur.
“Nuna, katamu? Kau lebih muda dariku?” Pertanyaannya membuat langkahku terhenti. Aku berbalik lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Jangan panggil aku Nuna. Panggil saja Ji Hye. Aku lebih senang di panggil begitu.”
“Ya, nuna.” BUK! Sebuah bantal sofa mengenaiku. Aku mengambilnya, lalu balik melemparnya. Kami tertawa.
Aku berjalan ke dapur dan langsung disibukkan dengan pekerjaanku. Aku akan membuat nasi goreng kimchi untuknya. Untukku juga, tentunya. Semoga ia belum makan siang.
Setengah jam kemudian, nasi goreng kimchi buatanku selesai. Aku membuat 2 gelas jus jeruk lemon dan kemudian membawanya ke depan televisi dengan nampan. Dia terkejut ketika melihatku membawa makanan.
“Untuk apa kau repot-repot?” Tanyanya merasa tidak nyaman.
“Tidak repot, kok. Kau tidak mau makan?” Tanyaku. Ia melirik nasi goreng kimchi dan juga jus jeruk lemon buatanku.
“Mau, sih. Aku lapar juga.” Katanya sambil tertawa pelan. Aku meletakkan nampan itu di atas sofa dan mengambil sepiring. Kuberikan padanya, lalu setelah ia mengambilnya, aku meletakkan nampan itu di atas lantai yang beralaskan karpet. Kuambil bagianku. Kulihat dia belum memakan makanannya.
“Kenapa tidak di makan?” Tanyaku.
“Kau makan lebih dahulu. Kau yang membuatnya.” Katanya sopan. Aku tersenyum lalu memakan makananku. Lalu kemudian ia menyuap makanannya.
“Bagaimana?” Tanyaku. Ia meletakkan piringnya di atas kedua pahanya yang di balut jeans hitam, lalu kemudian mengacungkan kedua jempolnya ke arahku.
“Enak! Kau pintar memasak, ya.” Katanya. Aku tertawa lalu mengangguk sambil berterimakasih.
“Terima kasih, Ji Hye Nuna.”
“Sudah kukatakan, cukup panggil aku Ji Hye. Anggap saja kita ini seumuran.” Aku tertawa sambil mengangguk.
A girl that acts shy, but knows how to be bold
Always pretend to careful of her behavior
But when you’re with her
Ya’ll know what I’m talking about
Looks are not an issue but
A cute girl who knows style
Even though our hobbies are different
Our tastes are the same
Sejak hari itu pun, hubunganku dengannya, Ji Hye, entah kenapa semakin dekat. Mungkin karena hobi? Tidak juga, kurasa. Tapi, aku merasa bersyukur dengan kedekatan ini. Dan yang lebih penting, perasaan sukaku padanya sudah melebihi saat pertama aku bertemu dengannya di taman saat itu.
Aku menoleh saat merasakan cubitan yang lumayan keras mendarat di lengan kananku. Kulepas headphone-ku dan kulihat Ji Hye dengan wajah cemberutnya.
“Kenapa?” Tanyaku sambil menahan tawa. Wajahnya terlihat lucu sekali saat cemberut seperti saat ini.
“Kau itu, sudah kupanggil entah berjuta kali, tapi kau tidak menoleh sama sekali!” Katanya kesal. Kenapa marah-marah, sih?
“Ya… kau tahu aku sedang memakai headphone. Wajar kalau aku tidak mendengarmu. Kenapa, sih?” Tanyaku.
Ia terdiam. Mungkin ia sedang berpikir bagaimana cara memberitahu sesuatu-yang-entah-apa-itu padaku. Aku pun hanya diam menunggunya bicara. Tapi, yang terjadi pada detik berikutnya adalah, dia memegang tanganku dan tiba-tiba menarikku.
“Hei, Ji Hye, kenapa?”
“Jalan-jalan saja. Ikut aku, ya?” Wajahnya terlihat memelas, membuatku tidak tega untuk menolaknya hanya dengan alasan aku lelah dan ingin istirahat di rumah saja. Akhirnya aku mengangguk.
A girl that I can relate to a lot
When we watch movies or listen to music
I love girl, girl I do adore
Ternyata, Ji Hye mengajakku untuk menonton film. Tanpa bertanya padaku apa yang ingin kutonton sekarang, ia langsung memesan tiket dan menarikku masuk ke dalam bioskop.
“Ji Hye, sebenarnya, kita mau nonton apa?” Tanyaku setelah kami duduk bersebelahan di dalam bioskop tersebut. Keadaan sudah ramai di dalam bioskop ini.
“Entahlah. Mari kita lihat tiketnya.” Katanya santai sambil memperhatikan tiket. Aku heran tapi ikut melihat tiket tersebut.
“Ini film horor, lho. Kau tidak takut?” Tanyaku. Ia menggeleng lalu berkata, “Tidak. Tenang saja, aku menikmati semua jenis film.”
Film tersebut selesai dua setengah jam kemudian. Selanjutnya, dia menarikku ke toko kaset. Dia berhenti menarikku tepat di depan kaset-kaset bergenre hip-hop.
“Ji Hye, kau suka musik bergenre ini?” Tanyaku sambil menunjuk kaset-kaset itu. Dia mengangguk.
“Kau bisa pilihkan yang bagus?” Tanyanya. Aku melihat kaset-kaset tersebut dan menarik keluar sebuah kaset.
“Menurutmu ini bagus?” Tanyanya setelah kaset itu berpindah ke tangannya.
“Ya, kurasa.” Kataku yang langsung di beri pukulan pelan di tanganku. Aku hanya tertawa.
Di perjalanan pulang, kami memutuskan untuk naik taksi. Ji Hye berkata, ia yang membayar semuanya, karena ia sedang tidak mood untuk naik bus seperti biasanya.
“Ji Hye, kurasa ada yang berubah denganmu.” Kataku memecah keheningan di dalam taksi tersebut. Dia menolehkan kepalanya yang sejak tadi melihat ke luar jendela.
“Benarkah? Apanya? Aku baik-baik saja.” Katanya sambil menunduk. Terlihat dengan jelas sekali bahwa ia berbohong.
“Bohong. Kau mengatakannya dengan ragu-ragu. Ada apa?” Tanyaku.
Lima detik kemudian mengalirlah ceritanya tentang seorang laki-laki yang tidak di sukainya, yang dari dulu hingga sekarang terus mengejarnya. Aku terus mendengarkannya sampai ia selesai bercerita.
“Siapa lelaki itu? Biar aku yang membereskannya untukmu.” Kataku. Dia menggeleng kuat-kuat, lalu berkata, “Tidak. Tidak perlu. Aku sudah merasa lega bisa menceritakan kekesalanku ini padamu. Karena setiap kali aku ingin bercerita pada teman-teman perempuanku, mereka selalu sibuk. Hanya padamulah aku bisa bercerita.”
In front of people, she has principle as she plays
In front of me, she’s like, “Aing, I don’t know,”
Kupandangi langit-langit kamarku, seolah-olah ada sesuatu yang ganjil di sana. Bukan, bukan. Aku bukan memikirkan itu, plafon kamarku baik-baik saja. Lalu?
Ya tuhan. Sepanjang hari bersamanya, hingga hari ini, yang kupikirkan hanyalah, bagaimana caranya membuat Ji Hye bisa mengetahui perasaanku ini. Rasanya, perasaan sukaku kini sudah berubah. Aku sangat menyayanginya. Dan aku tidak main-main dengan hal itu.
Kenapa aku bisa sangat menyayanginya? Dia cantik, itu benar. Tapi ada hal lain, yang tiba-tiba saja teringat olehku. Soo Young juga tidak kalah cantiknya dengan Ji Hye. Jika dibandingkan dengan sifat, mereka berdua menurutku tidak beda jauh. Astaga, kenapa aku jadi membandingkan mereka berdua? Terlebih lagi, untuk apa aku mengingat Soo Young?
Bagiku… yah, tidak ada alasan khusus kenapa aku bisa menyayanginya. Tapi bagiku, dialah orang yang tidak kuinginkan untuk terluka. Aku ingin bisa berada di sisinya, untuknya.
Make my heart race again
Make me able to create sweet songs again
…this love got me high I’m soarin’…
Saku celanaku tiba-tiba bergetar. Kuraih ponsel yang berada di dalamnya dan membuka flap ponselnya.
“Ji Hye, ada apa?” Ucapku saat melihat nama Ji Hye tertera di layarnya.
“Maaf, tapi ini bukan Ji Hye. Kami dari pihak rumah sakit me—”
“Rumah sakit?! Apa yang terjadi padanya?!” Mendengar kata rumah sakit, aku terkejut bukan main dan beranjak dari tempat tidurku.
“Dia mengalami kecelakaan. Keluarganya tidak ada yang bisa dihubungi dan kebetulan hanya anda yang bisa dihubungi. Bisakah anda da—”
“Ini dari rumah sakit apa?”
“Dongjanam.”
Tanpa berkata-kata lagi, aku memutuskan sambungan telepon dan beranjak pergi meninggalkan kamar tanpa sempat mengenakan jaketku seperti biasanya.
Kebingungan melanda sesaat setelah aku keluar dari flatku. Tidak ada taksi yang lewat di dekat sini. Apa yang harus kulakukan? Kalau aku naik bus seperti biasanya, itu tidak mungkin karena akan makan waktu lama. Tapi sepertinya pilihanku hanyalah itu.
Aku berlari sekencang-kencangnya menuju halte bus. Dari kejauhan aku melihat bus sudah hampir sampai di halte bus. Aku mempercepat lariku, tapi sesaat kemudian aku melihat sebuah taksi melesat dari balik bus. Tanpa berpikir lagi, aku segera menghentikan taksi itu.
“Rumah sakit Dongjanam.” Kataku sambil membuka pintu taksi saat taksi itu sudah berhenti di depanku. Supir itu hanya mengangguk dan langsung melajukan taksi.
15 menit kemudian aku sampai di rumah sakit. Setelah membayar uang taksi, aku segera berlari ke dalam rumah sakit dan bertanya pada perawat yang kebetulan lewat di depanku.
“Permisi. Kau tahu di mana ruangan seseorang bernama Kim Ji Hye?” Tanyaku.
“Anda bisa bertanya langsung di resepsionis.” Perawat itu menunjuk meja besar yang berada kira-kira 5 meter dariku. Aku langsung berlari sambil mengucapkan terima kasih kepada perawat itu. Sesampainya di resepsionis aku langsung bertanya.
Setelah mengetahui ruangannya, aku segera menuju ruangannya. Saat kubuka pintunya, suasana sangat hening, tidak ada suara apapun. Aku melongokkan kepalaku dan melihat seseorang terbaring di atas ranjang. Pelan-pelan aku menghampirinya.
Perban melingkar di atas matanya yang terpejam. Kurasa lukanya tidak terlalu parah, karena aku hanya melihat perban itu saja yang melingkar di dahinya. Dengan perasaan lega, perlahan kuangkat tanganku, menemukannya dengan pipinya. Lalu kemudian kuelus sepelan mungkin agar ia tidak terganggu. Tapi ternyata hal itu malah mengganggunya, karena 5 detik kemudian aku melihat matanya yang terpejam itu bergerak-gerak dan perlahan-lahan terbuka.
“Young Bae?” Suaranya nyaris tidak terdengar, seperti angin yang lewat saja, tapi aku bisa mendengarnya karena di dalam ruangan itu sangat sunyi dan hanya ada kami berdua.
“Ya, aku disini. Kau tidak apa-apa. Kau berada di rumah sakit sekarang.” Kataku saat melihat kebingungan menyelimuti wajahnya. Mulutnya menutup dan membuat sebuah senyuman. Aku membalas senyumannya.
“Kalau begitu…” Suaranya sudah lebih jelas dari sebelumnya. “Tanganmu.” Ia melihat ke bawah—lebih tepatnya ke tanganku. Aku tersentak, lalu cepat-cepat menarik tanganku.
“Maaf.” Kataku. Dia hanya diam.
Tapi tidak lama kemudian, tawa kami meledak.
“Kau sudah berada di sini sejak tadi?” Tanyanya setelah berhasil menelan tawanya.
“Tidak, aku baru saja datang. Dan kemudian… ya, tadi itu.” Kataku. Aku tertawa lagi mengingat hal bodoh yang kulakukan tadi. Dia juga ikut tertawa.
“Apa yang sudah kau lakukan dengan pipiku?” Tanyanya dengan tawa yang masih bisa kudengar.
“Tidak, aku hanya—ah, apa tidak boleh?”
Dia tertawa lagi.
“Sudahlah, lupakan saja. Mana jaketmu?” Tanyanya.
“Aku tidak sempat membawanya. Lupa.” Aku terkekeh.
“Kebiasaan.”
You’re the person I want to give my heart to
Girl, I need a girl
Girl like you gotta make you mine
I’m a treat you right baby
Ini sudah memasuki hari ketiga sejak Ji Hye di rawat di rumah sakit. Kemarin lusa, aku tidak membawa apapun—tapi kemudian aku pergi untuk mengambilkannya pakaian di rumahnya, sekaligus memberitahu orang tuanya, lalu kembali lagi kerumah sakit. Kemarin, aku membawakan buah-buahan, dan hari ini, aku ingin membawakannya bunga. Karena itu, setelah membeli setangkai bunga mawar kesukaannya, aku langsung menuju ke rumah sakit.
Saat sampai di sana, kulihat ia sedang duduk di sudut ruangan, membelakangiku.
“Ji Hye, apa yang kau lakukan disana?” Dia berbalik begitu mendengar suaraku.
“Hei, Young Bae!” Dia terlihat senang ketika melihatku. “Aku sudah bisa pulang hari ini.” Katanya. Oh. Ya ampun.
“Kenapa kau tidak memberitahuku?” Tanyaku, sambil cepat-cepat menyembunyikan bunga itu di belakangku.
“Maaf, tapi aku baru saja bertanya kepada dokter tadi pagi, dan saat itu juga aku baru tahu kalau aku sudah di perbolehkan pulang. Memangnya kau tidak senang?” Tanyanya.
“Tentu saja senang. Kau sudah sehat kembali kan?” Tanyaku sambil menghampirinya ketika ia mengangkat tas berisi pakaiannya. Aku mengambil tasnya dan membawakannya.
“Hei, biar aku saja.”
“Tidak apa-apa. Pembayarannya sudah diurus?” Tanyaku.
“Sudah, kemarin orang tuaku yang mengurusnya.” Tangannya sudah menyentuh pintu kalau saja aku tidak memanggilnya tiba-tiba.
“Apa?” Dia berbalik, dan aku dengan cepat langsung meraih tangannya.
“Young Bae, apa yang kau lakukan?” Aku mengabaikan pertanyaannya.
“Hei. Oh ap—” Suaranya tertahan saat aku berlutut dengan satu kaki di hadapannya.
“Kim Ji Hye,” Aku menengadah. “Aku berjanji akan mencintaimu selamanya—sampai kapanpun. Maukah kau menjadi kekasihku?”
Bisa kulihat wajahnya berubah bersemu merah. Aku berdiri, kemudian kukeluarkan bunga mawar yang daritadi kusembunyikan di belakangku dan kuberi padanya. Ia mengambilnya, lalu kemudian menatapku dalam diam.
“Ji Hye?”
“Ya.” Ucapnya singkat dan sangat sangat pelan, tapi aku bisa mendengarnya.
“Terima kasih.” Kataku sambil menariknya ke dalam pelukanku. Dia balas memelukku, dan aku kemudian mengecup puncak kepalanya pelan.
“Saranghamnida, Kim Ji Hye.”
Girl, I Need A Girl
Baby, I need you
Girl, you need me, too
THE END